Kontributor : Budi Waluyo Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright, Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & ...
Kontributor :
Budi Waluyo
Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright,
Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & Mahasiswa PhD di Lehigh University,USA
Penulis buku The Mancunian Way & Untukmu Scholarship Hunters
Hi pembaca setia Berkuliah.com, mau dengar cerita tentang teori "Connecting the Dots" milik Steve Jobs? Dijamin kamu bakal amazed dan ashamed.
Teori "Connecting the Dots" ini juga bermanfaat buat yang selalu mengeluh setiap kali mendapat kesulitan, terutama soal kuliah. Cerita "Connecting the Dots" ini sangat inspiratif dan moving. Mengajarkan kita tentang kedewasaan dan bersyukur dengan setiap fase kehidupan yang dijalani.
Oke, saya mulai ceritanya ya. Semoga bermanfaat.
Dulu saya tidak tahu Steve Jobs itu siapa. Sampai waktu dapat beasiswa S2 dan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti PAT di Universitas Indonesia. Di Jakarta, saya tinggal selama 6 bulan lebih dan ngekos. Saya belajar di UI sebagai tahap selanjutnya dari proses beasiswa : menembus universitas di luar negeri.
Teman-teman saya yang dapat beasiswa waktu itu orang-orang hebat semua, mungkin cuma saya yang biasa saja, hehe. Ini juga salah satu manfaat kalau kita mendapatkan beasiswa. Kita akan bisa mengenal anak-anak Indonesia yang hebat dari berbagai provinsi dan kita bisa belajar dari mereka.
Ada salah satu teman saya yang sangat terkenal diantara kami. Nah, melalui dia saya mendengar cerita tentang Steve Jobs. Saat Steve Jobs meninggal dunia, saya sedang di Manchester menimba ilmu Master. Ada film biografi beliau di BBC. Kisah hidupnya luar biasa.
Di tweets ini saya ingin cerita tentang salah satu falsafah hidupnya. Buat yang masih suka mengeluh, dengarkanlah cerita ini. Juga, jangan berpandangan kalau kita belajar dari orang Barat. Selama itu baik dan positif, ambil dan pelajarilah.
Saat itu, Steve Jobs diundang untuk memberikan kata sambutan di acara wisuda Stanford University, salah universitas terbaik di Amerika. Ada tiga pesan yang disampaikan Steve Job. Salah satunya adalah tentang "Connecting the Dots".
Kamu tahu kan, artinya connecting the dots? Ya, menghubungkan titik-titik.
Ibu Steve Jobs adalah mahasiswa yang masih kuliah. Dia hamil tanpa dinikahi. Sebelum melahirkan, ibunya memutuskan untuk memberikannya pada orang lain. Sang Ibu ingin Steve Jobs dirawat oleh orang yang lulusan universitas.
Akhirnya, ada seorang pengacara dan istrinya yang mau mengadopsi. Menjelang detik-detik melahirkan, si calon orangtua menelpon kalau mereka ingin bayi perempuan, tapi ternyata yang lahir bayi laki-laki. Ibu Steve Jobs menjadi cemas dan khawatir kalau mereka tidak jadi mengadopsi. Untungnya, mereka tetap mau menerima.
Beberapa waktu setelah melahirkan, sebelum tanda tangan kertas penyerahan adopsi, Ibu Steve Jobs mengetahui kalau calon orangtua itu berbohong. Suaminya tidak tamat SMA dan istrinya bukan taman universitas. Dia menolak tanda tangan kertasnya. Tapi, kemudian sang ibu berubah pikiran setelah calon orangtua Steve Jobs meyakinkan kalau Steve bakal dikuliahkan setelah besar nanti. Ibu kandung Steve ingin sekali dia kuliah saat besar nanti dan lulus dari universitas ternama di Amerika.
17 tahun setelahnya, Steve dikuliahkan disebuah college yang mahal sekali. Padahal, orang tuanya bukan dari golongan kelas atas.Sayangnya, saat kuliah Steve tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Semua mata kuliah yang diambilnya tidak terasa berguna baginya. Steve masuk di satu mata kuliah, lalu keluar. Masuk lagi di mata kuliah lainnya, keluar lagi.
Steve sadar, kalau orang tuanya harus menabung banyak untuk membiayai kuliahnya. Namun, dia tidak melihat kegunaan dari kuliah untuk tujuan hidupnya. Ditambah lagi, dia sendiri tidak tahu jelas apa tujuan hidupnya.
Setiap minggu malam, dia harus berjalan selama 7 mil ke sebuah kuil. Di sana selalu ada hidangan makan besar. Steve masih tinggal disekitar kampusnya. Kampusnya sangat terkenal dengan seni Kaligrafi, salah satu terbaik di Amerika.
Dia tidak bisa mengambil mata kuliah karena sudah drop out, tapi dia masih bisa mengambil mata kuliah kaligrafi ini. Di kelas itu, dia belajar tentang kombinasi warna, tekstur, pemandangan dan lain-lain yang menurutnya menakjubkan.
Tidak ada yang applicable untuk kehidupannya, tapi 10 tahun kemudian baru dia rasakan manfaatnya. Saat dia mendesain komputer Mac pertama kali, semua hal yang dipelajarinya di kelas Kaligrafi muncul.
Dia pun mengkombinasikannya ke dalam komputer Mac, yang membuat Mac menjadi komputer pertama yang memiliki tipografi yang indah.
Saya dulu suka main catur saat pelajaran bahasa Inggris di kelas 1 dan 2 SMA.. Dan saya bodoh sekali. Saat naik kelas 3, saya harus les bahasa Inggris karena takut tidak lulus ujian nasional. Saya belajar dengan serius dan akhirnya menyukai bahasa Inggris.
Ketika masuk kuliah, saya menemukan kalau kemampuan bahasa Inggris saya rendah, dan akhirnya bertemu dengan teman-teman dekat yang punya visi sama. Kalau seandainya saya tidak pernah main catur di kelas, saya tidak akan les bahasa Inggris di kelas 3 SMA.
Kalau saya tidak mengambil les, saya tidak menemukan kesukaan terhadap bahasa Inggris dan akhirnya tidak bisa bertemu dengan teman dekat di kampus. Kalau semua itu tidak terjadi, mungkin saya tidak ke Inggris dan Amerika seperti sekarang. Jadi, nimatilah setiap fase kehidupan yang dijalani, sembari tekun dan bersungguh-sungguh. Titik-titik itu akan membentuk sesuatu di masa depan nanti.
Kamu juga bisa merencanakan titik-titik yang mau dibuat. Tidak ada orang yang bisa mendapatkan sesuatu tanpa punya latar belakang yang berkaitan dengan sesuatu itu.
Keajaiban itu datang bersama usaha yang maksimal. Bermimpi besar itu harus, tapi realistis. Kalau kita tidak pernah melakukan semua hal yang berkaitan dengan mimpi kita, kemudian percaya kalau kita akan mendapatkannya, itu tidak realistis. Ketika kita punya mimpi, kemudian tekun dan fokus untuk meraihnya, itu baru realistis.
Kita tidak mungkin memiliki sebuah titik tanpa memiliki titik-titik yang berkaitan dengan itu sebelumnya. Bila kamu baca tulisan ini, dan sudah mengenal saya dan semua yang berkaitan dengan beasiswa, itu sudah menjadi titik buatmu.
Tinggal sekarang bagaimana kamu memanfaatkan titik-titik ini agar bisa mencapai klimaks titik yang kamu inginkan. Happy connecting the dots, Good luck..!
Editor : Rizqi Akbar Syah
Budi Waluyo
Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright,
Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & Mahasiswa PhD di Lehigh University,USA
Penulis buku The Mancunian Way & Untukmu Scholarship Hunters
Budi Waluyo - Facebook |
Hi pembaca setia Berkuliah.com, mau dengar cerita tentang teori "Connecting the Dots" milik Steve Jobs? Dijamin kamu bakal amazed dan ashamed.
Teori "Connecting the Dots" ini juga bermanfaat buat yang selalu mengeluh setiap kali mendapat kesulitan, terutama soal kuliah. Cerita "Connecting the Dots" ini sangat inspiratif dan moving. Mengajarkan kita tentang kedewasaan dan bersyukur dengan setiap fase kehidupan yang dijalani.
Oke, saya mulai ceritanya ya. Semoga bermanfaat.
Dulu saya tidak tahu Steve Jobs itu siapa. Sampai waktu dapat beasiswa S2 dan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti PAT di Universitas Indonesia. Di Jakarta, saya tinggal selama 6 bulan lebih dan ngekos. Saya belajar di UI sebagai tahap selanjutnya dari proses beasiswa : menembus universitas di luar negeri.
Teman-teman saya yang dapat beasiswa waktu itu orang-orang hebat semua, mungkin cuma saya yang biasa saja, hehe. Ini juga salah satu manfaat kalau kita mendapatkan beasiswa. Kita akan bisa mengenal anak-anak Indonesia yang hebat dari berbagai provinsi dan kita bisa belajar dari mereka.
Ada salah satu teman saya yang sangat terkenal diantara kami. Nah, melalui dia saya mendengar cerita tentang Steve Jobs. Saat Steve Jobs meninggal dunia, saya sedang di Manchester menimba ilmu Master. Ada film biografi beliau di BBC. Kisah hidupnya luar biasa.
Di tweets ini saya ingin cerita tentang salah satu falsafah hidupnya. Buat yang masih suka mengeluh, dengarkanlah cerita ini. Juga, jangan berpandangan kalau kita belajar dari orang Barat. Selama itu baik dan positif, ambil dan pelajarilah.
Saat itu, Steve Jobs diundang untuk memberikan kata sambutan di acara wisuda Stanford University, salah universitas terbaik di Amerika. Ada tiga pesan yang disampaikan Steve Job. Salah satunya adalah tentang "Connecting the Dots".
Kamu tahu kan, artinya connecting the dots? Ya, menghubungkan titik-titik.
Ibu Steve Jobs adalah mahasiswa yang masih kuliah. Dia hamil tanpa dinikahi. Sebelum melahirkan, ibunya memutuskan untuk memberikannya pada orang lain. Sang Ibu ingin Steve Jobs dirawat oleh orang yang lulusan universitas.
Akhirnya, ada seorang pengacara dan istrinya yang mau mengadopsi. Menjelang detik-detik melahirkan, si calon orangtua menelpon kalau mereka ingin bayi perempuan, tapi ternyata yang lahir bayi laki-laki. Ibu Steve Jobs menjadi cemas dan khawatir kalau mereka tidak jadi mengadopsi. Untungnya, mereka tetap mau menerima.
Beberapa waktu setelah melahirkan, sebelum tanda tangan kertas penyerahan adopsi, Ibu Steve Jobs mengetahui kalau calon orangtua itu berbohong. Suaminya tidak tamat SMA dan istrinya bukan taman universitas. Dia menolak tanda tangan kertasnya. Tapi, kemudian sang ibu berubah pikiran setelah calon orangtua Steve Jobs meyakinkan kalau Steve bakal dikuliahkan setelah besar nanti. Ibu kandung Steve ingin sekali dia kuliah saat besar nanti dan lulus dari universitas ternama di Amerika.
17 tahun setelahnya, Steve dikuliahkan disebuah college yang mahal sekali. Padahal, orang tuanya bukan dari golongan kelas atas.Sayangnya, saat kuliah Steve tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Semua mata kuliah yang diambilnya tidak terasa berguna baginya. Steve masuk di satu mata kuliah, lalu keluar. Masuk lagi di mata kuliah lainnya, keluar lagi.
Steve sadar, kalau orang tuanya harus menabung banyak untuk membiayai kuliahnya. Namun, dia tidak melihat kegunaan dari kuliah untuk tujuan hidupnya. Ditambah lagi, dia sendiri tidak tahu jelas apa tujuan hidupnya.
Dia pun memutuskan untuk drop out dari kuliah. Sejak itu, hidupnya mulai susah. Dia tidak punya kossan, dan tidur dilantai kamar temannya. Dia mengumpulkan botol coca cola, kemudian dijual, dan hasilnya untuk membeli makanan.
Setiap minggu malam, dia harus berjalan selama 7 mil ke sebuah kuil. Di sana selalu ada hidangan makan besar. Steve masih tinggal disekitar kampusnya. Kampusnya sangat terkenal dengan seni Kaligrafi, salah satu terbaik di Amerika.
Dia tidak bisa mengambil mata kuliah karena sudah drop out, tapi dia masih bisa mengambil mata kuliah kaligrafi ini. Di kelas itu, dia belajar tentang kombinasi warna, tekstur, pemandangan dan lain-lain yang menurutnya menakjubkan.
Tidak ada yang applicable untuk kehidupannya, tapi 10 tahun kemudian baru dia rasakan manfaatnya. Saat dia mendesain komputer Mac pertama kali, semua hal yang dipelajarinya di kelas Kaligrafi muncul.
Dia pun mengkombinasikannya ke dalam komputer Mac, yang membuat Mac menjadi komputer pertama yang memiliki tipografi yang indah.
Dia bilang,"Kalau saya tidak pernah drop out, saya tidak akan berakhir di kelas Kaligrafi. Jika saya tidak belajar seni kaligrafi, Mac tidak akan pernah ada." Semua hal yang dilakukan Steve membentuk titik-titik. Titik-tik inilah yang nanti akan bertemu dan membentuk masa depan.
Saya dulu suka main catur saat pelajaran bahasa Inggris di kelas 1 dan 2 SMA.. Dan saya bodoh sekali. Saat naik kelas 3, saya harus les bahasa Inggris karena takut tidak lulus ujian nasional. Saya belajar dengan serius dan akhirnya menyukai bahasa Inggris.
Ketika masuk kuliah, saya menemukan kalau kemampuan bahasa Inggris saya rendah, dan akhirnya bertemu dengan teman-teman dekat yang punya visi sama. Kalau seandainya saya tidak pernah main catur di kelas, saya tidak akan les bahasa Inggris di kelas 3 SMA.
Kalau saya tidak mengambil les, saya tidak menemukan kesukaan terhadap bahasa Inggris dan akhirnya tidak bisa bertemu dengan teman dekat di kampus. Kalau semua itu tidak terjadi, mungkin saya tidak ke Inggris dan Amerika seperti sekarang. Jadi, nimatilah setiap fase kehidupan yang dijalani, sembari tekun dan bersungguh-sungguh. Titik-titik itu akan membentuk sesuatu di masa depan nanti.
Kamu juga bisa merencanakan titik-titik yang mau dibuat. Tidak ada orang yang bisa mendapatkan sesuatu tanpa punya latar belakang yang berkaitan dengan sesuatu itu.
Kalau kamu ingin dapat beasiswa studi ke luar negeri, maka bangun titik-titik yang bisa mengantarkan ke sana. Ibarat sebuah cerita, akan ada klimaksnya nanti. Hanya kapan itu terjadi, bergantung dengan seberapa banyak titik yang sudah di bangun. Seberapa banyak kemungkinan-kemungkinan yang sudah kamu ciptakan.
Keajaiban itu datang bersama usaha yang maksimal. Bermimpi besar itu harus, tapi realistis. Kalau kita tidak pernah melakukan semua hal yang berkaitan dengan mimpi kita, kemudian percaya kalau kita akan mendapatkannya, itu tidak realistis. Ketika kita punya mimpi, kemudian tekun dan fokus untuk meraihnya, itu baru realistis.
Kita tidak mungkin memiliki sebuah titik tanpa memiliki titik-titik yang berkaitan dengan itu sebelumnya. Bila kamu baca tulisan ini, dan sudah mengenal saya dan semua yang berkaitan dengan beasiswa, itu sudah menjadi titik buatmu.
Tinggal sekarang bagaimana kamu memanfaatkan titik-titik ini agar bisa mencapai klimaks titik yang kamu inginkan. Happy connecting the dots, Good luck..!
Editor : Rizqi Akbar Syah