Berawal dari targetku dari beberapa daftar yang tertulis “ke luar negeri sebelum 20 tahun” ternyata ampuh! 6 mingguku menjadi alien di nege...
Berawal dari targetku dari beberapa daftar yang tertulis “ke luar negeri sebelum 20 tahun” ternyata ampuh! 6 mingguku menjadi alien di negeri tetangga dengan penduduk mayoritas Buddha menjadi Exchange Participant terasa begitu singkat. 27 Juni-7 Agustus 2014 aku harus menjalankan projek pendidikan yang telah aku pilih di Thailand. Karena semua berawal dari keisengan, aku juga tak mau kalah untuk melakukan hal iseng mendaftar Summer Exchange Program. Program ini menuntunku untuk hidup mandiri, ditambah lagi saat itu bulan puasa bagi umat Islam. Baru saja pertama kali ke luar negeri, sendirian pula, bawa nama Indonesia, dan harus berpuasa. WOW. Apa aku bisa menjalankan projek pada saat berpuasa? Memang ada keraguan, tapi waktu gak akan terulang bukan?
Selama di Thailand, hostfamily-ku menemaniku bertahan hidup disana. Hahahah bisa jadi aku tak mampu bertahan hidup tanpa hostfam. Setidaknya hostfamily-ku ini menjadi suplemen bagiku karena keramahan mereka yang sangat luar biasa. Pernah suatu waktu kita berbincang sangat asik hingga larut malam, berlibur ke provinsi lain, membawakan makanan favorit, dan hal ramah lainnya. Mereka memang keuarga keduaku. Walaupun aku menjadi alien bagi mereka. Ternyata, aku tak sendirian menjadi alien di rumah mereka, aku ditemani Sam, ia exchange participant sama sepertiku namun berasal dari Vietnam. Ia juga akan menjalankan projeknya di sekolah yang sama sepertiku.
Memang menyenangkan sekali jadi alien di negeri orang, apalagi saat kita di sekolah. Karena projek yang kuambil berbasis pendidikan, aku mengajar Bahasa Inggris di Wat Yang Chay School, Provinsi Angthong. Sekolah ini berada di rural area. Benar-benar di desa. Wat Yang Chay School benar-benar menyambut kita dengan baik. Aku mengajar di 2-3 kelas satu hari dari Senin-Jumat dan di setiap weekend selalu ada saja yang mengajakku dan roommate-ku pergi, terutama guru-guru di sekolah.
Hari pertamaku mengajar di sekolah, aku mengajar di kelas 1 SD. Aku diberi jatah mengajar di TK; SD kelas 1, 2, 3, ;dan SMP kelas 1 dan 2. Ya. Sekolah di Thailand di satu daerah memiliki satu sekolah dengan fasilitas pendidikan dari TK-SMP, bahkan sepertinya ada pula sekolah yang menyediakan daya tampung TK-SMA dengan jumlah murid yang beraneka ragam tergantung dari banyaknya warga di daerah tersebut.
Hmm, bukan tak mengerti cara mengajar, namun aku belum mengerti bagaimana menyampaikan ke murid-murid lucu yang aku pun bahkan tak mengerti mereka mengatakan apa. Ya. Mereka berbahsa Thailand. Sulit memang membuat pengantar. Satu mingguku pertama sebagai warming up untuk menjalankan projek selanjutnya. Huft. Gak gampang ternyata jadi guru. Banyak murid mengajakku berbincang, namun lagi-lagi dengan bahasa mereka yang benar-benar tak aku ketahui. Yang ada justru muka tersenyum geli kepada murid-murid dengan kepalanya yang sedikit botak itu karena tak mengerti bahasa mereka. Ketika aku balas dengan bahasa inggris, mereka hanya tertawa begitu saja. Waaaaaaaaa. Bagaimana aku bisa mengajar mereka jika komunikasi dengan mereka saja tidak bisa.
Terkadang aku justru lupa jika pada saat itu adalah bulan puasa, mau tidak mau, aku harus tetap menjalankan projek. Wah, mereka menjadi lebih menganggapku sebagai alien karena perilaku yang tidak makan dan minum selama satu bulan itu, ditambah pula dengan pakaianku yang menutup kepala. Hahah, tak apalah, mereka justru tertawa malu tapi heboh ketika berhasil memegang kudungku. Aku memang benar-benar alien di mata meraka.
Alternatifnya, mau tak mau aku harus belajar membuat kalimat sederhana agar mampu berkomunikasi dengan mereka. Tak mudah dan justru ditertawakan di hadapan murid-muridku ketika aku tidak fasih berucap bahasa Thailand yang aku tulis di selipan kertas sebagai contekan di pidato kecil untuk pengantar sebelum pembelajaran. Hahahaha, sudahlah, aku ikut tertawa saja, yang penting mereka senang.
Alternatif kedua, text book jelas tidak bisa dilakukan bagi guru alien sepertiku. Hampir setiap hari aku dan temanku dari Vietnam itu membuat flash card sebagai pembantu bahan ajar dalam kami mengajar. Program Summer Exchange ini memang benar-benar menguji kreativitas! Jika kita sudah menemukan satu saja alat bantu, tinggal bagaimana kita membuatnya lebih aplikatif dengan sesuatu lainnya. Flash card yang membantuku mengajarkan vocabulary, juga bisa kita lakukan untuk bermain games, anak-anak dibagi menjadi dua kelompok lalu memilih kartu yang sesuai, terkadang aku juga memperkenalkan permainan Indonesia kepada mereka sebagai media pembelajaran mata pelajaran bahasa Inggris. Semoga saja, setelah pulang ke Indonesia, aku menjadi orang yang kreatif dan mampu memanfaatkan peluang.
Sebagai perwakilan Indonesia di negara tetangga, aku diminta untuk mengisi acara ASEAN CAMP di sekolah tempat hostmother-ku mengajar. Aku memperkenalkan lagu Indonesia Raya, permainan cublak-cublak suweng, permainan otok-otok, gangsing bambu, kebaya, tari bali, mata uang Indonesia, camilan klanthing yang semuanya aku bawa dari Indonesia, menampilkan Komodo, Gunung Berapi, masakan khas Indonesia dalam bentuk video. Tak lupa juga ku bawa suvenir kecil khas Indonesia yang aku gunakan sebagai doorprize saat ASEAN CAMP. Mereka benar-benar antusias mengenal Indonesia, ya mungkin saja baru ini mereka menemukan alien dengan suara cempreng sepertiku. Baru ini aku benar-benar merasakan menjadi Warga Negara Indonesia. Aku menjadi belajar lebih tentang Indonesia sebelum mempresentasikannya. Ternyata begini menjadi Summer Ambassador.
Tak terasa satu bulan penuh berpuasa di negeri tetangga ini. Rombongan Indonesia yang berpencar di berbagai provinsi ini pun berencana merayakan lebaran di KBRI. Sepanjang perjalanan menuju Bangkok, yang dipikirkan justru betapa enaknyooo opor ayam dan rendang khas lebaran. Setelah sholat Ied di lapangan KBRI, kami dipersilakan untuk open house di rumah dinas Kedubes Indonesia-Thailand. Asiknya, kami berfoto dengan mereka. Setelah itu, beruntungnya aku dan seorang temanku salah tempat di spot makanan VIP yang disadari setelah kita habis menelan semua makanan yang kita ambil. Hahah, baguslah kalau begitu, pantas saja yang aku temui justru muka-muka pejabat.
Tak mau kalah dengan acara TV yang menayangkan liburan-liburan mereka, aku pun nekad untuk backpacker-an dengan roommate dan temanku ke Chiang Mai dengan menggunakan bus selama 9 jam ke utara dari Bangkok. Vihara di Chiang Mai benar-benar sangat megah, ditambah lagi night market yang keren! Dan tentu saja, kamera menjadi pacarku saat itu.
Ada pertemuan pasti ada perpisahan, tak tahan air mata ini ku tampung. Aku menangis saat malam terakhir bersama hostfamily, aku dan Sam memberikan bunga kepada hostmother sebagai bentuk cinta di hari Ibu minggu berikutnya. Tak kalah juga, hostfather-ku juga sedikit menangis. Hanya Sam yang tidak menangis. Aku heran bagaimana caranya dia tidak bisa menangis. Aku juga menangis saat berpamitan dengan murid-murid di Yang Chay School, makhluk sok sensitif ini menangis saat pidato perpisahan di depan murid-muridnya! Mereka memberikanku dan Sam berbagai hadiah kecil sebagai kenang-kenangan. Mereka juga menangis bahkan ada yang sampai tersedak karena tahu bahwa aku dan Sam akan pergi dari sekolah itu. Ah, sudahlah, aku pasti akan kembali bertemu dengan mereka suatu hari nanti. Bus sudah menjemput alien-alien (exchange participant) dari berbagai negara untuk kembali ke Bangkok. Kita telah selesai menyelesaikan projek. Akhirnya Sam menangis di pelukan hostfather. Hah, apalagi aku, melihat orang menangis saja sudah ikut menangis. merengeklah kita di bus sepanjang perjalanan meninggalkan Provinsi Angthong.
Selesai perpisahan dan hidup mandiri tanpa hostfamily di Bangkok, tak mau ketinggalan juga, hari-hari terakhirku di Thailand dan mumpung masih menjadi bule di negera orang, ku habiskan waktu liburanku untuk ke Phuket bersama temanku. Sayang, Sam tidak bisa menemaniku karena ia harus segera kembali ke Vietnam untuk mengurus kuliahnya. Hmm. Baiklah, kunikmati Phuket bersama dua orang temanku saja. Phuket benar-benar-benar-benar surga dunia. Iya, surga dunia sih, tapi kita juga harus mengeluarkan cukup uang untuk sampai kesana. Bayangkan, mahasiswa yang tinggal di kos makan paling banyak 2x sehari harus membayar fasilitas di Phuket yang bahkan James Bond pernah kesana. Hahaha, jadilah kami 2 malam menginap di bus dengan perbekalan cup coondles dan roti saja.
Ini ceritaku menjadi alien di negeri orang. Let’s Get Lost! Exchange berhasil mendorongku untuk “belajar renang yang memang di kolam renang” bukan “belajar renang di dalam kelas”. Hah, lagi-lagi, cerita menjadi alien itu ternyata belum selesai, ia menjadi awal untuk niatan yang akan aku lakukan untuk Indonesia. Berani menjadi guru di negara tetangga, namun tak berani menjalankan amanah “mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri sendiri?” Nampaknya, aku akan meneruskan menjadi volunteer di suatu gerakan berbasis pendidikan di Indonesia. Let’s get lost again!
Biodata
Astri Fatwasari
Wisma Lathifah, Jebres Krajan RT 03 RW 24, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Surakarta
Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Nomor HP : 081290255343
Email : astrifatwasari@yahoo.co.id
Selama di Thailand, hostfamily-ku menemaniku bertahan hidup disana. Hahahah bisa jadi aku tak mampu bertahan hidup tanpa hostfam. Setidaknya hostfamily-ku ini menjadi suplemen bagiku karena keramahan mereka yang sangat luar biasa. Pernah suatu waktu kita berbincang sangat asik hingga larut malam, berlibur ke provinsi lain, membawakan makanan favorit, dan hal ramah lainnya. Mereka memang keuarga keduaku. Walaupun aku menjadi alien bagi mereka. Ternyata, aku tak sendirian menjadi alien di rumah mereka, aku ditemani Sam, ia exchange participant sama sepertiku namun berasal dari Vietnam. Ia juga akan menjalankan projeknya di sekolah yang sama sepertiku.
Gambar 1. Makan Malam Pertama dengan Hostfamily dan Roomate
Memang menyenangkan sekali jadi alien di negeri orang, apalagi saat kita di sekolah. Karena projek yang kuambil berbasis pendidikan, aku mengajar Bahasa Inggris di Wat Yang Chay School, Provinsi Angthong. Sekolah ini berada di rural area. Benar-benar di desa. Wat Yang Chay School benar-benar menyambut kita dengan baik. Aku mengajar di 2-3 kelas satu hari dari Senin-Jumat dan di setiap weekend selalu ada saja yang mengajakku dan roommate-ku pergi, terutama guru-guru di sekolah.
Hari pertamaku mengajar di sekolah, aku mengajar di kelas 1 SD. Aku diberi jatah mengajar di TK; SD kelas 1, 2, 3, ;dan SMP kelas 1 dan 2. Ya. Sekolah di Thailand di satu daerah memiliki satu sekolah dengan fasilitas pendidikan dari TK-SMP, bahkan sepertinya ada pula sekolah yang menyediakan daya tampung TK-SMA dengan jumlah murid yang beraneka ragam tergantung dari banyaknya warga di daerah tersebut.
Hmm, bukan tak mengerti cara mengajar, namun aku belum mengerti bagaimana menyampaikan ke murid-murid lucu yang aku pun bahkan tak mengerti mereka mengatakan apa. Ya. Mereka berbahsa Thailand. Sulit memang membuat pengantar. Satu mingguku pertama sebagai warming up untuk menjalankan projek selanjutnya. Huft. Gak gampang ternyata jadi guru. Banyak murid mengajakku berbincang, namun lagi-lagi dengan bahasa mereka yang benar-benar tak aku ketahui. Yang ada justru muka tersenyum geli kepada murid-murid dengan kepalanya yang sedikit botak itu karena tak mengerti bahasa mereka. Ketika aku balas dengan bahasa inggris, mereka hanya tertawa begitu saja. Waaaaaaaaa. Bagaimana aku bisa mengajar mereka jika komunikasi dengan mereka saja tidak bisa.
Terkadang aku justru lupa jika pada saat itu adalah bulan puasa, mau tidak mau, aku harus tetap menjalankan projek. Wah, mereka menjadi lebih menganggapku sebagai alien karena perilaku yang tidak makan dan minum selama satu bulan itu, ditambah pula dengan pakaianku yang menutup kepala. Hahah, tak apalah, mereka justru tertawa malu tapi heboh ketika berhasil memegang kudungku. Aku memang benar-benar alien di mata meraka.
Gambar 2. Bersama murid-muridku Pathom 3 (SD Kelas 3)
Alternatifnya, mau tak mau aku harus belajar membuat kalimat sederhana agar mampu berkomunikasi dengan mereka. Tak mudah dan justru ditertawakan di hadapan murid-muridku ketika aku tidak fasih berucap bahasa Thailand yang aku tulis di selipan kertas sebagai contekan di pidato kecil untuk pengantar sebelum pembelajaran. Hahahaha, sudahlah, aku ikut tertawa saja, yang penting mereka senang.
Alternatif kedua, text book jelas tidak bisa dilakukan bagi guru alien sepertiku. Hampir setiap hari aku dan temanku dari Vietnam itu membuat flash card sebagai pembantu bahan ajar dalam kami mengajar. Program Summer Exchange ini memang benar-benar menguji kreativitas! Jika kita sudah menemukan satu saja alat bantu, tinggal bagaimana kita membuatnya lebih aplikatif dengan sesuatu lainnya. Flash card yang membantuku mengajarkan vocabulary, juga bisa kita lakukan untuk bermain games, anak-anak dibagi menjadi dua kelompok lalu memilih kartu yang sesuai, terkadang aku juga memperkenalkan permainan Indonesia kepada mereka sebagai media pembelajaran mata pelajaran bahasa Inggris. Semoga saja, setelah pulang ke Indonesia, aku menjadi orang yang kreatif dan mampu memanfaatkan peluang.
Sebagai perwakilan Indonesia di negara tetangga, aku diminta untuk mengisi acara ASEAN CAMP di sekolah tempat hostmother-ku mengajar. Aku memperkenalkan lagu Indonesia Raya, permainan cublak-cublak suweng, permainan otok-otok, gangsing bambu, kebaya, tari bali, mata uang Indonesia, camilan klanthing yang semuanya aku bawa dari Indonesia, menampilkan Komodo, Gunung Berapi, masakan khas Indonesia dalam bentuk video. Tak lupa juga ku bawa suvenir kecil khas Indonesia yang aku gunakan sebagai doorprize saat ASEAN CAMP. Mereka benar-benar antusias mengenal Indonesia, ya mungkin saja baru ini mereka menemukan alien dengan suara cempreng sepertiku. Baru ini aku benar-benar merasakan menjadi Warga Negara Indonesia. Aku menjadi belajar lebih tentang Indonesia sebelum mempresentasikannya. Ternyata begini menjadi Summer Ambassador.
Gambar 3. ASEAN CAMP bersama siswa-siswi Pathom 5 (SD Kelas 5)
Tak terasa satu bulan penuh berpuasa di negeri tetangga ini. Rombongan Indonesia yang berpencar di berbagai provinsi ini pun berencana merayakan lebaran di KBRI. Sepanjang perjalanan menuju Bangkok, yang dipikirkan justru betapa enaknyooo opor ayam dan rendang khas lebaran. Setelah sholat Ied di lapangan KBRI, kami dipersilakan untuk open house di rumah dinas Kedubes Indonesia-Thailand. Asiknya, kami berfoto dengan mereka. Setelah itu, beruntungnya aku dan seorang temanku salah tempat di spot makanan VIP yang disadari setelah kita habis menelan semua makanan yang kita ambil. Hahah, baguslah kalau begitu, pantas saja yang aku temui justru muka-muka pejabat.
Gambar 4. Doi Suthep Temple, Chiang Dao, Thailand
Tak mau kalah dengan acara TV yang menayangkan liburan-liburan mereka, aku pun nekad untuk backpacker-an dengan roommate dan temanku ke Chiang Mai dengan menggunakan bus selama 9 jam ke utara dari Bangkok. Vihara di Chiang Mai benar-benar sangat megah, ditambah lagi night market yang keren! Dan tentu saja, kamera menjadi pacarku saat itu.
Ada pertemuan pasti ada perpisahan, tak tahan air mata ini ku tampung. Aku menangis saat malam terakhir bersama hostfamily, aku dan Sam memberikan bunga kepada hostmother sebagai bentuk cinta di hari Ibu minggu berikutnya. Tak kalah juga, hostfather-ku juga sedikit menangis. Hanya Sam yang tidak menangis. Aku heran bagaimana caranya dia tidak bisa menangis. Aku juga menangis saat berpamitan dengan murid-murid di Yang Chay School, makhluk sok sensitif ini menangis saat pidato perpisahan di depan murid-muridnya! Mereka memberikanku dan Sam berbagai hadiah kecil sebagai kenang-kenangan. Mereka juga menangis bahkan ada yang sampai tersedak karena tahu bahwa aku dan Sam akan pergi dari sekolah itu. Ah, sudahlah, aku pasti akan kembali bertemu dengan mereka suatu hari nanti. Bus sudah menjemput alien-alien (exchange participant) dari berbagai negara untuk kembali ke Bangkok. Kita telah selesai menyelesaikan projek. Akhirnya Sam menangis di pelukan hostfather. Hah, apalagi aku, melihat orang menangis saja sudah ikut menangis. merengeklah kita di bus sepanjang perjalanan meninggalkan Provinsi Angthong.
Gambar 5, Phi-Phi Island, Phuket
Selesai perpisahan dan hidup mandiri tanpa hostfamily di Bangkok, tak mau ketinggalan juga, hari-hari terakhirku di Thailand dan mumpung masih menjadi bule di negera orang, ku habiskan waktu liburanku untuk ke Phuket bersama temanku. Sayang, Sam tidak bisa menemaniku karena ia harus segera kembali ke Vietnam untuk mengurus kuliahnya. Hmm. Baiklah, kunikmati Phuket bersama dua orang temanku saja. Phuket benar-benar-benar-benar surga dunia. Iya, surga dunia sih, tapi kita juga harus mengeluarkan cukup uang untuk sampai kesana. Bayangkan, mahasiswa yang tinggal di kos makan paling banyak 2x sehari harus membayar fasilitas di Phuket yang bahkan James Bond pernah kesana. Hahaha, jadilah kami 2 malam menginap di bus dengan perbekalan cup coondles dan roti saja.
Ini ceritaku menjadi alien di negeri orang. Let’s Get Lost! Exchange berhasil mendorongku untuk “belajar renang yang memang di kolam renang” bukan “belajar renang di dalam kelas”. Hah, lagi-lagi, cerita menjadi alien itu ternyata belum selesai, ia menjadi awal untuk niatan yang akan aku lakukan untuk Indonesia. Berani menjadi guru di negara tetangga, namun tak berani menjalankan amanah “mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri sendiri?” Nampaknya, aku akan meneruskan menjadi volunteer di suatu gerakan berbasis pendidikan di Indonesia. Let’s get lost again!
Biodata
Astri Fatwasari
Wisma Lathifah, Jebres Krajan RT 03 RW 24, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Surakarta
Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Nomor HP : 081290255343
Email : astrifatwasari@yahoo.co.id