Salah satu quote favorit dari tokoh idolaku, Nabi Muhammad SAW begitu menginspirasiku. Dimana quote tersebut adalah “Dont Tell Me How Educa...
Salah satu quote favorit dari tokoh idolaku, Nabi Muhammad SAW begitu menginspirasiku. Dimana quote tersebut adalah “Dont Tell Me How Educated You Are, Tell Me How Much You’ve Travelled”. Beberapa mungkin bertanya, mengapa travelling? Karena tidak bisa dipungkiri bahwa travelling merupakan salah satu kegiatan yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bisa memberikan begitu banyak pelajaran hidup dari setiap manusia yang ditemukan selama perjalanan. Quote favorit tersebut sudah memberikan begitu banyak pelajaran kepadaku.
Sebagai seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, aku mendapatkan banyak informasi mengenai kesempatan untuk travelling sambil belajar baik di dalam ataupun luar negri yang lazim disebut kegiatan student exchange dalam waktu relatif singkat atau bahkan bisa sampai sekitar 2 semester lamanya. Pada awalnya, aku tidak pernah membayangkan akan menjadi salah seorang mahasiswa yang berkesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Semua bayangan tersebut berubah hanya karena dorongan dari salah satu sahabatku yang baru saja pulang dari kegiatan Student exchange di Jepang selama tiga minggu.
Kesempatan pertamaku datang di bulan Mei 2013. Bermula dari selebaran pendaftaran untuk mengikuti kegiatan student exchange di Jepang selama tiga minggu dan mendapatkan suntikan semangat dari sahabat, aku pun tertarik untuk mencobanya. Pada saat itu, aku sedang berada di mata kuliah pilihan yang memungkinkan bisa mengikutinya di luar Jogja ataupun luar negeri selama satu bulan. Karena tertarik untuk mengikuti kegiatan exchange ini, aku pun memilih untuk mengambil mata kuliah pilihan tersebut di Jogja.
Dengan dikejar deadline selama dua minggu, Alhamdulillah, aku berhasil mengumpulkan semua berkas – berkas persyaratan yang diminta. Dan di awal Juni 2013, aku dinyatakan lolos sebagai salah satu peserta! Alhamdulillah. Aku benar-benar tidak menyangka! Dengan diliputi perasaan bahagia yang tak terkira, aku pun mengabarkan kedua orang tuaku di Medan bahwa aku akan berangkat ke Jepang dengan mendapatkan full scholarship selama tiga minggu. Kemudian statusku membuatku sempat berfikir apakah aku harus melewatkan atau mengambil kesempatan ini. Pada saat itu statusku adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Hewan UGM dimana aku akan mengikuti wisuda sarjana pada tanggal 28 Agustus 2013. Sedangkan jika aku berangkat ke Jepang, maka dapat dipastikan aku gagal wisuda di periode Agustus. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang, aku mantap untuk mengambil kesempatan langka ini. Tentu saja orang tua ku awalnya sedikit keberatan tapi begitu aku yakinkan bahwa kapan lagi kesempatan langka ini datang akhirnya orangtuaku pun setuju dengan keputusanku.
Kegiatan exchange pertama yang aku ikuti merupakan program kerjasama tiga universitas di Indonesia (UGM Jogja, IPB Bogor dan Unhas Makasar) dan di Jepang (Ehime University, Kochi University dan Kagawa University) yang disingkat dengan SUIJI (Six University Initiative Japan Indonesia). Inti dari program ini adalah pemerintah Jepang memandang perlu bagi mahasiswa untuk memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar sebelum meninggalkan bangku kuliah. Sedangkan Indonesia sendiri sudah menerapkan hal tersebut sejak berpuluh tahun yang silam melalui program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Belajar dari pengalaman Universitas di Indonesia yang sudah terlebih dahulu menerapkan maka diadakan lah kerja sama di antara keduanya yang dipelopori oleh keenam Universitas tersebut.
Singkat cerita, sampailah aku di hari H keberngkatan. Sebelumnya aku juga sempat belajar Bahasa Jepang dasar sebagai bekal awal. Di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, delegasi UGM yang berjumlah 9 orang bertemu dengan delegasi dari Unhas dan IPB. Sehingga total delegasi dari Indonesia berjumlah sekitar 33 orang. Sebelum sampai di Jepang, kami sempat transit 7 jam di bandara Incheon, Korea Selatan. Setibanya di Bandara Matsuyama, kami dijemput oleh seorang associate profesor di Ehime University, yang merupakan warga asli Indonesia dan sudah hampir 15 tahun tinggal di Jepang. Beliau adalah bapak Zainal Abidin yang selanjutnya kami panggil Abi Chan.
Selama perjalanan di bus, aku begitu bahagia dan sama sekali tak menyangka bisa menginjakkan kaki di Jepang dengan menggunakan beasiswa. Setelah istirahat di hari pertama, kami bertemu dengan 40 orang mahasiswa dari ketiga universitas di Jepang. Dengan jumlah 77 orang mahasiswa dan dibagi menjadi 5 tim, kami akan ditempatkan di lima daerah dengan potensi yang berbeda.
Ditempatkan di daerah yang baru, kami memiliki tugas untuk menganalisa permasalahan dan memberikan solusi yang sesuai dengan permasalahan. Sangat mirip dengan konsep KKN, bukan? Aku dan timku mendapatkan sebuah pulau kecil dikelilingi oleh pantai yang indah yaitu pulau Kashiwajima. Selama hampir 3 minggu bersama, timku yang terdiri dari 6 orang mahasiswa Indonesia dan 8 orang mahasiswa Jepang harus benar-benar memiliki teamwork yang kuat. Awalnya sangat sulit bagi kami untuk memberikan solusi atas masalah yang ada karena keterbatasan bahasa. Tetapi karena motivasi yang kuat untuk memberikan kontribusi kepada Kashiwajima, kami bisa mengatasi hal tersebut. Dan hal tersebut dibuktikan dengan suasana hangat dan haru ketika kami harus berpisah dengan penduduk Kashiwajima.
Begitu banyak pelajaran yang aku dapatkan dari teman Jepangku seperti belajar menggunakan sumpit pada saat makan, menghargai waktu, memberikan rasa hormat kepada chef dengan cara menghabiskan makanan yang disediakan. Di kesempatan ini juga, aku mendapatkan pengalaman berbicara di depan public international yang dihadiri oleh para akademisi dari keenam universitas. Perbedaan budaya dan agama juga sangat menarik dan membuka wawasanku. Mereka yang seolah memiliki kebiasaan untuk mabuk tentu saja sangat kontras dengan keyakinanku sebagai seorang muslim.
Di suatu hari, aku terlibat dengan diskusi mengenai agama dengan teman Jepangku, mereka bertanya hal-hal yang dasar seperti tidak mengkonsumsi alkohol, daging babi dan penggunaan hijab. Setelah aku berikan penjelasan, tak ku sangka penjelasan itu menimbulkan kekaguman bagi mereka. Dan spontan teman Jepangku memberikan apresiasi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang baik dan bersih. Tak hanya itu, ketika aku harus melaksanakan shalat di bangku taman dan sarungku mengalami sedikit kerusakan, salah seorang teman Jepangku mengatakan, dia ingin meminjam dan memperbaiki sarungku tersebut. Keharuan dan rasa syukur langsung mendorongku untuk memeluk erat dia. Ah. Keindahan dalam tolerasi beragama begitu aku rasakan selama di Jepang.
Pulang dengan pengalaman baru ternyata membawa berkah baru buatku. Setelah melanjutkan kuliah profesi untuk mendapatkan gelar dokter hewan, ada berita bahwa Fakultasku mengadakan kerja sama antara Fakultas Kedokteran Hewan University of Sydney, Australia. Tak tanggung-tanggung, mahasiswa peserta exchange akan tinggal selama 2 bulan di sana. Sayangnya peserta program ini sangat terbatas yaitu hanya berlaku untuk mahasiswa tingkat akhir dan profesi fakultas kedokteran hewan UGM. Konsekuensi dari pilihan ini adalah peserta program akan mengalami penundaan selesainya kuliah selama 6 bulan. Aku pun mencoba untuk mengikuti program ini. Kalau diterima Alhamdulillah, kalau pun tidak minimal sudah berusaha yang terbaik.
Ketika Allah SWT sudah berkehendak, maka pastilah itu yang terjadi. Ternyata menjadi peserta student exchange ke Australia ini menjadi rezekiku. Dengan diliputi perasaan bahagia, aku kembali dihantui perasaan yang sama ketika akan mengambil kesempatan exchange ke Jepang. Dengan mengambil kesempatan ini berarti aku menunda kelulusan untuk menjadi seorang dokter hewan selama satu semester. Apakah aku rela menunda kelulusanku tersebut? Aku pun berdiskusi dengan beberapa orang dosenku, dan mereka memberi dukungan penuh agar aku menjadi salah seorang peserta exchange ke Australia.
Tugas kedua adalah menyakinkan kedua orang tuaku. Ketika izin mereka turun dan sudah melengkapi segala persyaratan, berangkatlah aku berdua dengan temanku ke Sydney, Australia pada tanggal 15 Februari 2014. Begitu sampai, kami dijemput oleh suami seorang dosen dari University of Sydney. Beliau begitu bersahabat dan mengantarkan kami sampai di student guest house di Camden.
Teman pertama kami yang berasal dari Pakistan adalah seorang mahasiswa S3 dan sedang melakukan penelitian untuk disertasi selama 6 bulan. Di Australia, kami belajar mengenai Epidemiologi, manajemen peternakan hewan ternak, Patologi dan Teknologi Reproduksi pada hewan. Belajar selama 2 bulan dengan mahasiswa University of Sydney memberikan banyak pengalaman suka dan sedikit pengalaman duka. Salah satu pengalaman duka adalah ketika mengalami keterbatasan bahasa. Terlebih ketika berkomunikasi dengan penduduk lokal yang notabene bahasa inggrisnya sangat susah untuk dimengerti. Kalau sudah menghadapi situasi seperti ini, maka aku dan temanku memilih untuk diam sembari memperhatikan apa yang sedang mereka lakukan.
Kemampuan untuk segera beradaptasi dan menemukan teman baru seakan mutlak dibutuhkan. Alhamdulillah, aku tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Selama di Australia,aku pun lebih sering untuk memasak dengan alasan penghematan. Pernah suatu ketika, aku dan teman koreaku melakukan food cultural exchange. Dia memasakkan kami makanan khas korea, sedangkan kami memasakkan mereka nasi goreng, mie goreng dan ayam opor. Tak disangka mereka begitu menyukainya.
Selama di Australia juga aku mendapatkan tetangga kamar yang sangat baik. Tak segan-segan mereka menawarkan bantuan mulai dari mengantarkan ke supermarket sampai membantu jika kami mengalami kesulitan tertentu. Pengalaman sedih terhitung sangat sedikit karena aku beruntung memiliki banyak teman yang baik dari berbagai negara. Bahkan aku juga menemukan sesama wanita berjilbab yang merupakan mahasiswa semester akhir Fakultas kedokteran hewan University of Sydney. Dengan waktu yang relatif singkat, aku pun sudah dianggap seperti bagian dari keluarganya.
Beberapa dari mereka mengatakan, untuk menambah pengalaman tak lah harus di negara orang. Selebihnya mengatakan bahwa buat apa terlalu aktif sampai kuliah harus terbengkalai bahkan tertunda selesainya. Aku sama sekali tidak berhak untuk menyalahkan pendapat mereka. Tetapi, selagi masih muda, aku berfikir adalah benar jika kita menambah pengalaman yang jelas memberikan keuntungan dan membuka wawasan. Bukan kah hidup adalah pilihan? Dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi yang memberikan ritme dalam hidup. Tidak ada yang salah dengan pilihan selama kita mengambilnya dengan penuh kesadaran. Begitu juga dengan pilihan hidup yang sudah aku buat. Melepas kebersamaan moment wisuda dan telat kuliah selama 6 bulan merupakan sebuah pilihan yang bertanggung jawab dan sudah memberikan warna dalam hidupku. Terima kasih Allah SWT atas keberanian yang Kau berikan kepadaku dalam mengambil sebuah pilihan.
Jogja, November 2013
Rabiyatul Adawiyah, SKH
Sebagai seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, aku mendapatkan banyak informasi mengenai kesempatan untuk travelling sambil belajar baik di dalam ataupun luar negri yang lazim disebut kegiatan student exchange dalam waktu relatif singkat atau bahkan bisa sampai sekitar 2 semester lamanya. Pada awalnya, aku tidak pernah membayangkan akan menjadi salah seorang mahasiswa yang berkesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Semua bayangan tersebut berubah hanya karena dorongan dari salah satu sahabatku yang baru saja pulang dari kegiatan Student exchange di Jepang selama tiga minggu.
Kesempatan pertamaku datang di bulan Mei 2013. Bermula dari selebaran pendaftaran untuk mengikuti kegiatan student exchange di Jepang selama tiga minggu dan mendapatkan suntikan semangat dari sahabat, aku pun tertarik untuk mencobanya. Pada saat itu, aku sedang berada di mata kuliah pilihan yang memungkinkan bisa mengikutinya di luar Jogja ataupun luar negeri selama satu bulan. Karena tertarik untuk mengikuti kegiatan exchange ini, aku pun memilih untuk mengambil mata kuliah pilihan tersebut di Jogja.
Dengan dikejar deadline selama dua minggu, Alhamdulillah, aku berhasil mengumpulkan semua berkas – berkas persyaratan yang diminta. Dan di awal Juni 2013, aku dinyatakan lolos sebagai salah satu peserta! Alhamdulillah. Aku benar-benar tidak menyangka! Dengan diliputi perasaan bahagia yang tak terkira, aku pun mengabarkan kedua orang tuaku di Medan bahwa aku akan berangkat ke Jepang dengan mendapatkan full scholarship selama tiga minggu. Kemudian statusku membuatku sempat berfikir apakah aku harus melewatkan atau mengambil kesempatan ini. Pada saat itu statusku adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Hewan UGM dimana aku akan mengikuti wisuda sarjana pada tanggal 28 Agustus 2013. Sedangkan jika aku berangkat ke Jepang, maka dapat dipastikan aku gagal wisuda di periode Agustus. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang, aku mantap untuk mengambil kesempatan langka ini. Tentu saja orang tua ku awalnya sedikit keberatan tapi begitu aku yakinkan bahwa kapan lagi kesempatan langka ini datang akhirnya orangtuaku pun setuju dengan keputusanku.
Kegiatan exchange pertama yang aku ikuti merupakan program kerjasama tiga universitas di Indonesia (UGM Jogja, IPB Bogor dan Unhas Makasar) dan di Jepang (Ehime University, Kochi University dan Kagawa University) yang disingkat dengan SUIJI (Six University Initiative Japan Indonesia). Inti dari program ini adalah pemerintah Jepang memandang perlu bagi mahasiswa untuk memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar sebelum meninggalkan bangku kuliah. Sedangkan Indonesia sendiri sudah menerapkan hal tersebut sejak berpuluh tahun yang silam melalui program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Belajar dari pengalaman Universitas di Indonesia yang sudah terlebih dahulu menerapkan maka diadakan lah kerja sama di antara keduanya yang dipelopori oleh keenam Universitas tersebut.
Singkat cerita, sampailah aku di hari H keberngkatan. Sebelumnya aku juga sempat belajar Bahasa Jepang dasar sebagai bekal awal. Di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, delegasi UGM yang berjumlah 9 orang bertemu dengan delegasi dari Unhas dan IPB. Sehingga total delegasi dari Indonesia berjumlah sekitar 33 orang. Sebelum sampai di Jepang, kami sempat transit 7 jam di bandara Incheon, Korea Selatan. Setibanya di Bandara Matsuyama, kami dijemput oleh seorang associate profesor di Ehime University, yang merupakan warga asli Indonesia dan sudah hampir 15 tahun tinggal di Jepang. Beliau adalah bapak Zainal Abidin yang selanjutnya kami panggil Abi Chan.
Selama perjalanan di bus, aku begitu bahagia dan sama sekali tak menyangka bisa menginjakkan kaki di Jepang dengan menggunakan beasiswa. Setelah istirahat di hari pertama, kami bertemu dengan 40 orang mahasiswa dari ketiga universitas di Jepang. Dengan jumlah 77 orang mahasiswa dan dibagi menjadi 5 tim, kami akan ditempatkan di lima daerah dengan potensi yang berbeda.
Ditempatkan di daerah yang baru, kami memiliki tugas untuk menganalisa permasalahan dan memberikan solusi yang sesuai dengan permasalahan. Sangat mirip dengan konsep KKN, bukan? Aku dan timku mendapatkan sebuah pulau kecil dikelilingi oleh pantai yang indah yaitu pulau Kashiwajima. Selama hampir 3 minggu bersama, timku yang terdiri dari 6 orang mahasiswa Indonesia dan 8 orang mahasiswa Jepang harus benar-benar memiliki teamwork yang kuat. Awalnya sangat sulit bagi kami untuk memberikan solusi atas masalah yang ada karena keterbatasan bahasa. Tetapi karena motivasi yang kuat untuk memberikan kontribusi kepada Kashiwajima, kami bisa mengatasi hal tersebut. Dan hal tersebut dibuktikan dengan suasana hangat dan haru ketika kami harus berpisah dengan penduduk Kashiwajima.
Begitu banyak pelajaran yang aku dapatkan dari teman Jepangku seperti belajar menggunakan sumpit pada saat makan, menghargai waktu, memberikan rasa hormat kepada chef dengan cara menghabiskan makanan yang disediakan. Di kesempatan ini juga, aku mendapatkan pengalaman berbicara di depan public international yang dihadiri oleh para akademisi dari keenam universitas. Perbedaan budaya dan agama juga sangat menarik dan membuka wawasanku. Mereka yang seolah memiliki kebiasaan untuk mabuk tentu saja sangat kontras dengan keyakinanku sebagai seorang muslim.
Di suatu hari, aku terlibat dengan diskusi mengenai agama dengan teman Jepangku, mereka bertanya hal-hal yang dasar seperti tidak mengkonsumsi alkohol, daging babi dan penggunaan hijab. Setelah aku berikan penjelasan, tak ku sangka penjelasan itu menimbulkan kekaguman bagi mereka. Dan spontan teman Jepangku memberikan apresiasi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang baik dan bersih. Tak hanya itu, ketika aku harus melaksanakan shalat di bangku taman dan sarungku mengalami sedikit kerusakan, salah seorang teman Jepangku mengatakan, dia ingin meminjam dan memperbaiki sarungku tersebut. Keharuan dan rasa syukur langsung mendorongku untuk memeluk erat dia. Ah. Keindahan dalam tolerasi beragama begitu aku rasakan selama di Jepang.
Pulang dengan pengalaman baru ternyata membawa berkah baru buatku. Setelah melanjutkan kuliah profesi untuk mendapatkan gelar dokter hewan, ada berita bahwa Fakultasku mengadakan kerja sama antara Fakultas Kedokteran Hewan University of Sydney, Australia. Tak tanggung-tanggung, mahasiswa peserta exchange akan tinggal selama 2 bulan di sana. Sayangnya peserta program ini sangat terbatas yaitu hanya berlaku untuk mahasiswa tingkat akhir dan profesi fakultas kedokteran hewan UGM. Konsekuensi dari pilihan ini adalah peserta program akan mengalami penundaan selesainya kuliah selama 6 bulan. Aku pun mencoba untuk mengikuti program ini. Kalau diterima Alhamdulillah, kalau pun tidak minimal sudah berusaha yang terbaik.
Ketika Allah SWT sudah berkehendak, maka pastilah itu yang terjadi. Ternyata menjadi peserta student exchange ke Australia ini menjadi rezekiku. Dengan diliputi perasaan bahagia, aku kembali dihantui perasaan yang sama ketika akan mengambil kesempatan exchange ke Jepang. Dengan mengambil kesempatan ini berarti aku menunda kelulusan untuk menjadi seorang dokter hewan selama satu semester. Apakah aku rela menunda kelulusanku tersebut? Aku pun berdiskusi dengan beberapa orang dosenku, dan mereka memberi dukungan penuh agar aku menjadi salah seorang peserta exchange ke Australia.
Tugas kedua adalah menyakinkan kedua orang tuaku. Ketika izin mereka turun dan sudah melengkapi segala persyaratan, berangkatlah aku berdua dengan temanku ke Sydney, Australia pada tanggal 15 Februari 2014. Begitu sampai, kami dijemput oleh suami seorang dosen dari University of Sydney. Beliau begitu bersahabat dan mengantarkan kami sampai di student guest house di Camden.
Teman pertama kami yang berasal dari Pakistan adalah seorang mahasiswa S3 dan sedang melakukan penelitian untuk disertasi selama 6 bulan. Di Australia, kami belajar mengenai Epidemiologi, manajemen peternakan hewan ternak, Patologi dan Teknologi Reproduksi pada hewan. Belajar selama 2 bulan dengan mahasiswa University of Sydney memberikan banyak pengalaman suka dan sedikit pengalaman duka. Salah satu pengalaman duka adalah ketika mengalami keterbatasan bahasa. Terlebih ketika berkomunikasi dengan penduduk lokal yang notabene bahasa inggrisnya sangat susah untuk dimengerti. Kalau sudah menghadapi situasi seperti ini, maka aku dan temanku memilih untuk diam sembari memperhatikan apa yang sedang mereka lakukan.
Kemampuan untuk segera beradaptasi dan menemukan teman baru seakan mutlak dibutuhkan. Alhamdulillah, aku tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Selama di Australia,aku pun lebih sering untuk memasak dengan alasan penghematan. Pernah suatu ketika, aku dan teman koreaku melakukan food cultural exchange. Dia memasakkan kami makanan khas korea, sedangkan kami memasakkan mereka nasi goreng, mie goreng dan ayam opor. Tak disangka mereka begitu menyukainya.
Selama di Australia juga aku mendapatkan tetangga kamar yang sangat baik. Tak segan-segan mereka menawarkan bantuan mulai dari mengantarkan ke supermarket sampai membantu jika kami mengalami kesulitan tertentu. Pengalaman sedih terhitung sangat sedikit karena aku beruntung memiliki banyak teman yang baik dari berbagai negara. Bahkan aku juga menemukan sesama wanita berjilbab yang merupakan mahasiswa semester akhir Fakultas kedokteran hewan University of Sydney. Dengan waktu yang relatif singkat, aku pun sudah dianggap seperti bagian dari keluarganya.
Beberapa dari mereka mengatakan, untuk menambah pengalaman tak lah harus di negara orang. Selebihnya mengatakan bahwa buat apa terlalu aktif sampai kuliah harus terbengkalai bahkan tertunda selesainya. Aku sama sekali tidak berhak untuk menyalahkan pendapat mereka. Tetapi, selagi masih muda, aku berfikir adalah benar jika kita menambah pengalaman yang jelas memberikan keuntungan dan membuka wawasan. Bukan kah hidup adalah pilihan? Dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi yang memberikan ritme dalam hidup. Tidak ada yang salah dengan pilihan selama kita mengambilnya dengan penuh kesadaran. Begitu juga dengan pilihan hidup yang sudah aku buat. Melepas kebersamaan moment wisuda dan telat kuliah selama 6 bulan merupakan sebuah pilihan yang bertanggung jawab dan sudah memberikan warna dalam hidupku. Terima kasih Allah SWT atas keberanian yang Kau berikan kepadaku dalam mengambil sebuah pilihan.
Jogja, November 2013
Rabiyatul Adawiyah, SKH