Saya ingat di tahun 2011, saya menuliskan mimpi saya di selembar karton berwarna biru. Saya menuliskan mimpi-mimpi saya setelah mengikuti ke...
Saya ingat di tahun 2011, saya menuliskan mimpi saya di selembar karton berwarna biru. Saya menuliskan mimpi-mimpi saya setelah mengikuti kegiatan Pelatihan Kepemimpinan di Kampus Merah, Universitas Hasanuddin. Pada pelatihan itu, Bu Marwah Daud sebagai trainer menjelaskan mengenai kekuatan niat. “Tuliskan impian mu dalam selembar kertas. Jangan lupa tuliskan apa saja yang kamu lakukan untuk mencapai mimpi tersebut,”. Saya pun menuliskan mimpi-mimpi yang ingin saya raih sebelum wisuda.
Mimpi pertama adalah “Ke Luar Negeri Sebelum Wisuda”. Tulisan itu saya perbesar dengan menebalkan huruf-hurufnya. Saya ingat masih ada 9 mimpi utama lainnya dalam selembar karton tersebut. Namun mimpi pertama adalah target saya. Sejak saat itu saya mulai rajin mencari informasi pertukaran pelajar ke luar negeri. Mulai dari informasi di Google maupun informasi yang saya dapatkan lewat hubungan pertemanan.
Hingga suatu hari, saya mendapatkan informasi mengenai kuliah singkat di Amerika Serikat. Seorang teman, Ummul Masir namanya. Ia memberitahukan mengenai program summer school di USA selama 5 minggu. Informasi ini ia dapatkan dari salah seorang narasumber untuk rubrik mahasiswa berprestasi di Koran Identitas (nama Koran Kampus di Universitas Hasanuddin.red). Tanpa basa-basi, saya pun berkenalan dengan kak Mudrikan Nacong.
Ia pun menjelaskan mengenai program yang ia ikuti, Study in The United States for New Media and Journalism. Saya disarankan untuk ikut program tersebut karena aktif di dalam bidang media. Karena untuk mendapatkan summer school ini, kita harus memiliki background dan pengalaman di bidang jurnalistik. Pada akhir Desember 2011, saya pun mengirimkannya. Setelah itu saya pun menjalankan rutinitas biasa, hingga pada bulan Maret 2012, sebuah surat elektornik masuk ke inbox. Saya gagal! Permintaan maaf dari Kedubes Amerika Serikat malah memacu semangat saya untuk mencoba lagi tahun depan.
Saya pun berdiskusi dengan Kak Mudrikan, ia pun menyarankan untuk mengambil kelas mengenai Study in The United State for Global Environmental Issues (SUSI GEI). Saya pun mulai memperbanyak pengalaman dalam bidang lingkungan. Mengikuti lomba karya tulis, menulis mengenai masalah lingkungan, ikut berkontribusi dalam komunitas-komunitas lingkungan, dan mengkampanyekan gerakan hijau di dalam lingkungan sendiri.
Program SUSI GEI (sekarang YSEALI) pun dibuka kembali. Saya tiba-tiba bimbang. Apakah saya tetap berminat untuk ikut Summer School ini? Jika saya diterima maka otomatis waktu wisuda saya akan tertunda. Ketika itu saya sudah menginjak semester ke-8. Seorang dosen mengajak saya untuk bergabung dalam penelitiannya. Penelitian ini bekerjasama dengan sebuah universitas di Amerika untuk meneliti sponge dalam menghasilkan kandidat obat. Saya pun mengiyakannya dan mentargetkan untuk selesai pada bulan Juni, 2013.
Namun saya terus mengingat mimpi saya, hal itu terus terngiang-ngiang. Hingga akhirnya 3 hari sebelum deadline, saya mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Surat pernyataan saya minta langsung dari Dekan FIKP dan Wakil Dekan III FIKP. Saya juga menulis surat kenapa saya harus mengikuti program ini. Akhirnya malam itu, 20 Desember 2012, saya pun pergi ke warnet untuk mengirimkannya. Pada saat itu saya hanya mampu berkata, “Ya Allah, jika saya berhasil tembus berarti ini yang terbaik dan jika tidak berhasil, ini juga yang terbaik,”. Terkirim!
Waktu-waktu berlalu, saya tidak memedulikan lagi mengenai SUSI. Fokus saya saat ini adalah wisuda di bulan Juni 2013. Mulai pada hari pertama masuk laboratorium, saya sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan penelitian. Namun takdir berkata lain, pada tanggal 26 Maret 2013, saya mendapatkan telepon. Alunan lagu Bruno Mars menguar di seluruh laboratorium. Saya ambil handphone tersebut, dan nomor handphone dengan kombinasi angka yang ganjil terlihat di layar. +62312xxxxx. Saya yang sedang menunggu matangnya medium tumbuh jamur. Saya mendapatkan informasi dari bahwa saya lulus!
Kegiatan akan dilakukan di Hawai’i, Colorado dan Washington DC. What a shock! Saya yang masih memegang cawan petri sampai tergetar tidak percaya. Ini mimpi? Saya segera menelpon Bunda saya, meminta persetujuannya. Ketakutan terbesar saya adalah Bunda saya melarang kepergian saya ke USA. Namun ternyata Bunda berbesar hati untuk melepas anaknya pergi selama 5 minggu ke Negeri Paman Sam. Satu yang ia pinta ketika telepon hampir kututup , “Selesaikan skripsimu tahun ini, nak..”
Saat itu saya masih punya rasa tak percaya. Jangan-jangan saya salah dihubungi. Atau tadi itu penipu yang mencari calon mangsa melalui modus beasiswa. Namun hal itu berhasil saya tepis karena ada email yang dikirimkan oleh Mbak Esti ke inbox saya. Seakan tidak percaya, saya terus diam di depan laptop. Dan tiba-tiba berteriak kegirangan. “Saya berhasil satu tahap!”
Penelitian terus saya lakukan dengan seksama dan teliti. Hingga akhirnya hari itu datang, Sabtu 18 Mei 2013, saya dan Imam terbang meninggalkan Makassar menuju Surabaya. Dari Bandara Juanda, kami bertemu William teman kontingen dari Indonesia Timur. Kami menuju Singapura menggunakan maskapai penerbangan asing. Itu adalah pertama kalinya saya menggunakan bahasa inggris ke pramugari. Saya belajar meminta tambahan jus dan selimut menggunakan bahasa inggris yang terpatah-patah. Tapi paling tidak bisa pramugari mengerti maksud saya untuk menambah jus apel.
Selama perjalanan saya lebih banyak diam. Mencerna perjalanan ini, sebagai anugrah yang luar biasa. Kami tiba di Changi Airport pada sore hari. Menukar uang dolar menjadi dolar Singapura untuk membeli makanan. Setelah itu tugas lainnya adalah mencari lokasi tempat tinggal yang telah disediakan oleh pihak US Embassy. Kami tinggal selama beberapa jam di hotel bandara. Cukup untuk meregangkan badan sebelum menempuh perjalanan panjang esok.
Pagi hari kami sudah bergegas menuju Terminal 1. Saya harus siap dengan perjalanan di udara yang paling lama, 7 jam di atas udara. Seingat saya, perasaan mengantuk dan lelah menerjang. Selama itu pula saya selalu minta jus apel tambahan kepada pramugari. Hingga akhirnya kami pun tiba di Bandara Narita, Jepang. Disana kami bertemu dengan teman-teman dari Indonesia. Totalnya 7 orang dari Indonesia. Saya, Aken, Rida, Imam, William, Anhar dan Andri. Setelah memperkenalkan diri, kami pun menjelajah bandara Narita.
Saya paling suka dengan toilet di bandara ini. Toiletnya memiliki bunyi-bunyian yang merdu. Jadi kita tidak perlu malu untuk mengeluarkan hajat ketika banyak orang. Hehe. Sejak di Bandara ini, saya mulai menyadari sulitnya mencari tempat untuk shalat. Tidak ada mushalla yang jamak kita temui di bandara-bandara di Indonesia. Rida dan Aken tak kehabisan akal, kita shalat di tempat ibu menyusui. Haha. Memori yang tak terlupakan.
Malam hari kita pun berangkat menggunakan maskapai Delta Airlines. Ketika di pemeriksaan menuju pesawat, saya sempat ditahan dan ditanya-tanya mengenai tujuan datang ke Amerika. Namun proses tersebut hanya memakan waktu 15 menit. Saya ditanya mengenai asal negara, tujuan datang, serta siapa yang bertanggung jawab dalam kegiatan di Amerika nanti. Sempat was-was, jangan-jangan saya dituduh masuk dalam jaringan teroris. Tapi ternyata proses tersebut tidak terlalu lama. Saya pun dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Selama perjalanan saya selalu meminta jus apel tambahan.
Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, pilot telah memberikan informasi bahwa pesawat akan mendarat di Honolulu International Airport, Hawai’i. Harusnya pagi ini sudah memasuki tanggal 20 Mei, jika mengikuti standar waktu Indonesia. Namun ketika di Honolulu, waktu masih menunjukkan tanggal 19 Mei. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu antara Indonesia dan Hawai’i yang mencapai 25 jam.
Sama seperti kejadian di Jepang, saya juga ditahan selama 30 menit di bagian imigrasi. Entah karena apa? Padahal kedua teman saya yang perempuan juga pake kerudung. Pertanyaan yang sama juga kembali ditanyakan. Setelah disuruh menunggu, saya pun dipersilahkan keluar. Akhirnya, Honolulu! Kami dijemput oleh seorang bapak yang baik hati. Ia memperkenalkan salam Shaka kepada kami. Menurutnya, itu adalah salam wajib yang digunakan oleh orang Hawai’i. Pada hari itu kami berkenalan dengan teman-teman dari berbagai negara. Selain itu kami disuguhi buah-buah tropis yang menurutku sangat berbeda dengan di Indonesia. Apalagi nenas dari Hawai’i yang sangat crunchy. :D
Sejak saat itu kami mulai memasuki asrama, namanya Hale Manoa. Disini kami tinggal bersama mahasiswa University of Hawai’i at Manoa. Karena perbedaan waktu yang lumayan jauh antara Indonesia dan Hawai’i, beberapa kali saya sempat tertidur di dalam kelas. Karena tubuh baru menyesuaikan. Waktu tidur di Indonesia adalah waktu kuliah di Hawai’i. Selain waktu tidur, saya juga harus beradaptasi dengan WC disini. Berbeda dengan WC di Indonesia yang menggunakan air, disini kita harus menggunakan tissue.
Untuk kegiatan mengajar, pihak panitia menyediakan East West Centre sebagai kelas kami. Jadi kami tidak digabung dengan mahasiswa lain. Untuk metode pengajaran, guru disana lebih suka berdiskusi dengan mahasiswa. Bukan hanya mendikte dan menerangkan, sangat berbeda dengan cara pengajaran yang jamak ditemukan di Indonesia. Selain itu kami juga diberikan soal-soal yang harus dikerjakan secara berkelompok. Disinilah menjadi tantangan yang paling sulit. Karena kami datang dari berbagai negara dengan pengalaman yang berbeda, kami kesulitan untuk mendeskripsikan masalah. Misalnya saja, di Negara Fiji sulit untuk menemukan sungai, jadi agak sulit mendeskripsikan potensi sungai sebagai pembangkit tenaga hidro. Tapi itu menjadikan kami semakin tahu mengenai negara setiap peserta dan apa problemnya.
Selama 3 minggu di Hawai’I, kami memiliki banyak kegiatan untuk melihat bagaimana pemerintah mengelola lingkungannya. Kami berinteraksi langsung dengan para ahli dalam bidang lingkungan. Misalnya kami belajar ekoturisme di Waikiki Aquarium, Kualoa Ranch, dan Hanauma Bay. Melihat secara langsung lokasi power plant yang menggunakan sampah sebagai energi. Tak hanya itu pula, kami juga melihat pembuatan destilasi air dengan membuat rawa imitasi. Beragam kegiatan untuk mengenalkan kami dengan lingkungan secara langsung dan lebih dekat.
Setelah 21 hari berlalu, kami diminta untuk mempresentasikan sebuah project yang bisa merepresentasikan Indonesia. Akhirnya kami memilih tema “Ring of Fire” sebagai project kami. Nama ini kami ambil karena Indonesia memiliki banyak gunung api. Tapi idenya adalah bagaimana Indonesia bisa memiliki beragam alternatif energy serta pemanfaatan sumber daya yang ada. Presentasi ini dihadiri oleh beberapa tamu undangan dari East West Centre dan orang-orang yang kami kenal. Banyak pertanyaan dari audience dan hal ini melatih kemampuan berbicara dan menjabarkan sesuatu. Setelah presentasi ini, kami akan berangkat ke Colorado.
Di Colorado, mengunjungi beberapa tempat yang benar-benar “berkawan” dengan lingkungan. Misalnya kami mengunjungi Eco-cycle, dimana barang-barang tak terpakai akan dipisah-pisah kemudian di daur ulang. Selain itu kami juga pergi ke Chataqua, sebuah pegunangan yang benar-benar dijaga keasriannya.
Dan yang benar-benar tak terlupakan di Colorado adalah kami ditantang untuk membuat sebuah konsep yang berkelanjutan dan kemudian memperagakannya kepada masyarakat umum. Ada sebuah pasar rakyat (farm market) yang diadakan oleh pemerintah setempat. Disana, kami membuat tim yang kemudian membuah alat peraga. Setelah pelajaran yang kami dapat dari perkuliahan ataupun field trip, kami mencoba merancang desain sebuah konsep perumahan yang memiliki konsep hijau. Lebih banyak orang yang bertanya-tanya tentang konsep yang kami jabarkan.
Perjalanan ini benar-benar menjadi moment yang tak terlupakan selama hidup saya. Walaupun saya terlambat wisuda, namun saya tidak menyesalinya. Terkadang kita butuh keberanian untuk berpikir berbeda dari orang lain. Satu motto hidup yang saya pegang,
Oleh: Atrasina Adlina
Mimpi pertama adalah “Ke Luar Negeri Sebelum Wisuda”. Tulisan itu saya perbesar dengan menebalkan huruf-hurufnya. Saya ingat masih ada 9 mimpi utama lainnya dalam selembar karton tersebut. Namun mimpi pertama adalah target saya. Sejak saat itu saya mulai rajin mencari informasi pertukaran pelajar ke luar negeri. Mulai dari informasi di Google maupun informasi yang saya dapatkan lewat hubungan pertemanan.
Hingga suatu hari, saya mendapatkan informasi mengenai kuliah singkat di Amerika Serikat. Seorang teman, Ummul Masir namanya. Ia memberitahukan mengenai program summer school di USA selama 5 minggu. Informasi ini ia dapatkan dari salah seorang narasumber untuk rubrik mahasiswa berprestasi di Koran Identitas (nama Koran Kampus di Universitas Hasanuddin.red). Tanpa basa-basi, saya pun berkenalan dengan kak Mudrikan Nacong.
Ia pun menjelaskan mengenai program yang ia ikuti, Study in The United States for New Media and Journalism. Saya disarankan untuk ikut program tersebut karena aktif di dalam bidang media. Karena untuk mendapatkan summer school ini, kita harus memiliki background dan pengalaman di bidang jurnalistik. Pada akhir Desember 2011, saya pun mengirimkannya. Setelah itu saya pun menjalankan rutinitas biasa, hingga pada bulan Maret 2012, sebuah surat elektornik masuk ke inbox. Saya gagal! Permintaan maaf dari Kedubes Amerika Serikat malah memacu semangat saya untuk mencoba lagi tahun depan.
Saya pun berdiskusi dengan Kak Mudrikan, ia pun menyarankan untuk mengambil kelas mengenai Study in The United State for Global Environmental Issues (SUSI GEI). Saya pun mulai memperbanyak pengalaman dalam bidang lingkungan. Mengikuti lomba karya tulis, menulis mengenai masalah lingkungan, ikut berkontribusi dalam komunitas-komunitas lingkungan, dan mengkampanyekan gerakan hijau di dalam lingkungan sendiri.
Program SUSI GEI (sekarang YSEALI) pun dibuka kembali. Saya tiba-tiba bimbang. Apakah saya tetap berminat untuk ikut Summer School ini? Jika saya diterima maka otomatis waktu wisuda saya akan tertunda. Ketika itu saya sudah menginjak semester ke-8. Seorang dosen mengajak saya untuk bergabung dalam penelitiannya. Penelitian ini bekerjasama dengan sebuah universitas di Amerika untuk meneliti sponge dalam menghasilkan kandidat obat. Saya pun mengiyakannya dan mentargetkan untuk selesai pada bulan Juni, 2013.
Namun saya terus mengingat mimpi saya, hal itu terus terngiang-ngiang. Hingga akhirnya 3 hari sebelum deadline, saya mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Surat pernyataan saya minta langsung dari Dekan FIKP dan Wakil Dekan III FIKP. Saya juga menulis surat kenapa saya harus mengikuti program ini. Akhirnya malam itu, 20 Desember 2012, saya pun pergi ke warnet untuk mengirimkannya. Pada saat itu saya hanya mampu berkata, “Ya Allah, jika saya berhasil tembus berarti ini yang terbaik dan jika tidak berhasil, ini juga yang terbaik,”. Terkirim!
Waktu-waktu berlalu, saya tidak memedulikan lagi mengenai SUSI. Fokus saya saat ini adalah wisuda di bulan Juni 2013. Mulai pada hari pertama masuk laboratorium, saya sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan penelitian. Namun takdir berkata lain, pada tanggal 26 Maret 2013, saya mendapatkan telepon. Alunan lagu Bruno Mars menguar di seluruh laboratorium. Saya ambil handphone tersebut, dan nomor handphone dengan kombinasi angka yang ganjil terlihat di layar. +62312xxxxx. Saya yang sedang menunggu matangnya medium tumbuh jamur. Saya mendapatkan informasi dari bahwa saya lulus!
Kegiatan akan dilakukan di Hawai’i, Colorado dan Washington DC. What a shock! Saya yang masih memegang cawan petri sampai tergetar tidak percaya. Ini mimpi? Saya segera menelpon Bunda saya, meminta persetujuannya. Ketakutan terbesar saya adalah Bunda saya melarang kepergian saya ke USA. Namun ternyata Bunda berbesar hati untuk melepas anaknya pergi selama 5 minggu ke Negeri Paman Sam. Satu yang ia pinta ketika telepon hampir kututup , “Selesaikan skripsimu tahun ini, nak..”
Saat itu saya masih punya rasa tak percaya. Jangan-jangan saya salah dihubungi. Atau tadi itu penipu yang mencari calon mangsa melalui modus beasiswa. Namun hal itu berhasil saya tepis karena ada email yang dikirimkan oleh Mbak Esti ke inbox saya. Seakan tidak percaya, saya terus diam di depan laptop. Dan tiba-tiba berteriak kegirangan. “Saya berhasil satu tahap!”
Penelitian terus saya lakukan dengan seksama dan teliti. Hingga akhirnya hari itu datang, Sabtu 18 Mei 2013, saya dan Imam terbang meninggalkan Makassar menuju Surabaya. Dari Bandara Juanda, kami bertemu William teman kontingen dari Indonesia Timur. Kami menuju Singapura menggunakan maskapai penerbangan asing. Itu adalah pertama kalinya saya menggunakan bahasa inggris ke pramugari. Saya belajar meminta tambahan jus dan selimut menggunakan bahasa inggris yang terpatah-patah. Tapi paling tidak bisa pramugari mengerti maksud saya untuk menambah jus apel.
Selama perjalanan saya lebih banyak diam. Mencerna perjalanan ini, sebagai anugrah yang luar biasa. Kami tiba di Changi Airport pada sore hari. Menukar uang dolar menjadi dolar Singapura untuk membeli makanan. Setelah itu tugas lainnya adalah mencari lokasi tempat tinggal yang telah disediakan oleh pihak US Embassy. Kami tinggal selama beberapa jam di hotel bandara. Cukup untuk meregangkan badan sebelum menempuh perjalanan panjang esok.
Pagi hari kami sudah bergegas menuju Terminal 1. Saya harus siap dengan perjalanan di udara yang paling lama, 7 jam di atas udara. Seingat saya, perasaan mengantuk dan lelah menerjang. Selama itu pula saya selalu minta jus apel tambahan kepada pramugari. Hingga akhirnya kami pun tiba di Bandara Narita, Jepang. Disana kami bertemu dengan teman-teman dari Indonesia. Totalnya 7 orang dari Indonesia. Saya, Aken, Rida, Imam, William, Anhar dan Andri. Setelah memperkenalkan diri, kami pun menjelajah bandara Narita.
Saya paling suka dengan toilet di bandara ini. Toiletnya memiliki bunyi-bunyian yang merdu. Jadi kita tidak perlu malu untuk mengeluarkan hajat ketika banyak orang. Hehe. Sejak di Bandara ini, saya mulai menyadari sulitnya mencari tempat untuk shalat. Tidak ada mushalla yang jamak kita temui di bandara-bandara di Indonesia. Rida dan Aken tak kehabisan akal, kita shalat di tempat ibu menyusui. Haha. Memori yang tak terlupakan.
Malam hari kita pun berangkat menggunakan maskapai Delta Airlines. Ketika di pemeriksaan menuju pesawat, saya sempat ditahan dan ditanya-tanya mengenai tujuan datang ke Amerika. Namun proses tersebut hanya memakan waktu 15 menit. Saya ditanya mengenai asal negara, tujuan datang, serta siapa yang bertanggung jawab dalam kegiatan di Amerika nanti. Sempat was-was, jangan-jangan saya dituduh masuk dalam jaringan teroris. Tapi ternyata proses tersebut tidak terlalu lama. Saya pun dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Selama perjalanan saya selalu meminta jus apel tambahan.
Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, pilot telah memberikan informasi bahwa pesawat akan mendarat di Honolulu International Airport, Hawai’i. Harusnya pagi ini sudah memasuki tanggal 20 Mei, jika mengikuti standar waktu Indonesia. Namun ketika di Honolulu, waktu masih menunjukkan tanggal 19 Mei. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu antara Indonesia dan Hawai’i yang mencapai 25 jam.
Sama seperti kejadian di Jepang, saya juga ditahan selama 30 menit di bagian imigrasi. Entah karena apa? Padahal kedua teman saya yang perempuan juga pake kerudung. Pertanyaan yang sama juga kembali ditanyakan. Setelah disuruh menunggu, saya pun dipersilahkan keluar. Akhirnya, Honolulu! Kami dijemput oleh seorang bapak yang baik hati. Ia memperkenalkan salam Shaka kepada kami. Menurutnya, itu adalah salam wajib yang digunakan oleh orang Hawai’i. Pada hari itu kami berkenalan dengan teman-teman dari berbagai negara. Selain itu kami disuguhi buah-buah tropis yang menurutku sangat berbeda dengan di Indonesia. Apalagi nenas dari Hawai’i yang sangat crunchy. :D
Sejak saat itu kami mulai memasuki asrama, namanya Hale Manoa. Disini kami tinggal bersama mahasiswa University of Hawai’i at Manoa. Karena perbedaan waktu yang lumayan jauh antara Indonesia dan Hawai’i, beberapa kali saya sempat tertidur di dalam kelas. Karena tubuh baru menyesuaikan. Waktu tidur di Indonesia adalah waktu kuliah di Hawai’i. Selain waktu tidur, saya juga harus beradaptasi dengan WC disini. Berbeda dengan WC di Indonesia yang menggunakan air, disini kita harus menggunakan tissue.
Untuk kegiatan mengajar, pihak panitia menyediakan East West Centre sebagai kelas kami. Jadi kami tidak digabung dengan mahasiswa lain. Untuk metode pengajaran, guru disana lebih suka berdiskusi dengan mahasiswa. Bukan hanya mendikte dan menerangkan, sangat berbeda dengan cara pengajaran yang jamak ditemukan di Indonesia. Selain itu kami juga diberikan soal-soal yang harus dikerjakan secara berkelompok. Disinilah menjadi tantangan yang paling sulit. Karena kami datang dari berbagai negara dengan pengalaman yang berbeda, kami kesulitan untuk mendeskripsikan masalah. Misalnya saja, di Negara Fiji sulit untuk menemukan sungai, jadi agak sulit mendeskripsikan potensi sungai sebagai pembangkit tenaga hidro. Tapi itu menjadikan kami semakin tahu mengenai negara setiap peserta dan apa problemnya.
Selama 3 minggu di Hawai’I, kami memiliki banyak kegiatan untuk melihat bagaimana pemerintah mengelola lingkungannya. Kami berinteraksi langsung dengan para ahli dalam bidang lingkungan. Misalnya kami belajar ekoturisme di Waikiki Aquarium, Kualoa Ranch, dan Hanauma Bay. Melihat secara langsung lokasi power plant yang menggunakan sampah sebagai energi. Tak hanya itu pula, kami juga melihat pembuatan destilasi air dengan membuat rawa imitasi. Beragam kegiatan untuk mengenalkan kami dengan lingkungan secara langsung dan lebih dekat.
Setelah 21 hari berlalu, kami diminta untuk mempresentasikan sebuah project yang bisa merepresentasikan Indonesia. Akhirnya kami memilih tema “Ring of Fire” sebagai project kami. Nama ini kami ambil karena Indonesia memiliki banyak gunung api. Tapi idenya adalah bagaimana Indonesia bisa memiliki beragam alternatif energy serta pemanfaatan sumber daya yang ada. Presentasi ini dihadiri oleh beberapa tamu undangan dari East West Centre dan orang-orang yang kami kenal. Banyak pertanyaan dari audience dan hal ini melatih kemampuan berbicara dan menjabarkan sesuatu. Setelah presentasi ini, kami akan berangkat ke Colorado.
Di Colorado, mengunjungi beberapa tempat yang benar-benar “berkawan” dengan lingkungan. Misalnya kami mengunjungi Eco-cycle, dimana barang-barang tak terpakai akan dipisah-pisah kemudian di daur ulang. Selain itu kami juga pergi ke Chataqua, sebuah pegunangan yang benar-benar dijaga keasriannya.
Dan yang benar-benar tak terlupakan di Colorado adalah kami ditantang untuk membuat sebuah konsep yang berkelanjutan dan kemudian memperagakannya kepada masyarakat umum. Ada sebuah pasar rakyat (farm market) yang diadakan oleh pemerintah setempat. Disana, kami membuat tim yang kemudian membuah alat peraga. Setelah pelajaran yang kami dapat dari perkuliahan ataupun field trip, kami mencoba merancang desain sebuah konsep perumahan yang memiliki konsep hijau. Lebih banyak orang yang bertanya-tanya tentang konsep yang kami jabarkan.
Perjalanan ini benar-benar menjadi moment yang tak terlupakan selama hidup saya. Walaupun saya terlambat wisuda, namun saya tidak menyesalinya. Terkadang kita butuh keberanian untuk berpikir berbeda dari orang lain. Satu motto hidup yang saya pegang,
“Don’t worry about failures, worry about the chances you will miss when you don’t even try”. Keep struggling..."
Oleh: Atrasina Adlina