Apakah kamu ingin kuliah ke luar negeri? Jika iya, apakah kamu yakin akan bisa melewati semua proses seleksi dan memenuhi persyaratannya? Ba...
Apakah kamu ingin kuliah ke luar negeri? Jika iya, apakah kamu yakin akan bisa melewati semua proses seleksi dan memenuhi persyaratannya? Bagaimana dengan skor TOEFL yang kamu punya? Ataukah kamu belum pernah mengikuti tes TOEFL?
Masih banyak lagi pertanyaan seputar kuliah ke luar negeri yang tiba-tiba akan muncul begitu kamu memutuskan untuk mengejar studi di luar negeri. Satu titik dimana banyak orang yang kemudian merasa minder dan tidak percaya diri untuk melanjutkan proses dalam mengejar studi di luar negeri adalah TOEFL. Kemampuan dalam menggunakan bahasa Inggris biasanya diukur dengan tes TOEFL yang skor dari tes tersebut akan mempengaruhi kesempatan bagi siapapun yang ingin melanjutkan studi di luar negeri.
Satu cerita dari seorang pria yang bernama Khairul Rijal membuktikan bahwa tanpa skor TOEFL yang tinggi sekalipun kamu bisa kuliah di luar negeri. Apa dan bagaimana ceritanya? Simak baik-baik ya!
Semenjak dari usia SD ia sudah ingin untuk pergi ke luar negeri karena berawal dari hobi menonton film-film dari luar negeri. Sejak itulah ia bermimpi untuk bisa menempuh studi di luar negeri. Satu masalah yang ia hadapi adalah rasa malas untuk belajar khususnya bahasa Inggris. Pada usia SD meskipun sudah dibelikan buku untuk panduan belajar bahasa Inggris, ia masih tidak bisa menguasai materi yang ada karena memang malas untuk belajar.
Akan tetapi ia justru mempunyai sedikit keunggulan dalam hal penguasaan berbagai kata dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan oleh kegemarannya mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa Inggris serta juga nonton film dalam bahasa Inggris. Paling tidak hal ini tentu merupakan satu hal positif juga karena ia jadi mengerti banyak kata dalam bahasa Inggris meskipun ketika harus menyusunnya ia merasa kewalahan.
Singkat cerita ia akhirnya mampu menyelesaikan studi hingga jenjang S1 atas biaya orang tua. Ia kemudian bekerja menjadi PNS di kawasan Aceh Timur. Perlahan-lahan ia masih selalu mencari kesempatan dan cara agar bisa mewujudkan impian untuk ke luar negeri. Satu cara yang ia lihat adalah dengan melanjutkan studi di luar negeri. Saat itu ia langsung berpikiran bahwa dengan beasiswa itu bisa sangat mungkin dilakukan.
Pada tahun 2004 saat terjadinya bencana Tsunami yang luar biasa di Aceh, ternyata justru ada hal positif yang mengikutinya. Hal itu adalah adanya bantuan hingga dalam bentuk beasiswa bagi para korban bencana tersebut. Ketika itu ia memutuskan untuk mencoba mendaftarkan diri dalam beasiswa-beasiswa bantuan tersebut. Sebut saja IIEF, APS, ADS, hingga STUNEDia ikuti. Sayangnya, semua beasiswa tersebut menggunakan TOEFL sebagai salah satu syaratnya sementara ia tidak memiliki skor TOEFL yang memenuhi kriteria minimum dari beasiswa-beasiswa tersebut.
Hasilnya sudah tentu bisa ditebak. Ia tidak mendapatkan satupun dari beasiswa-beasiswa tersebut hanya karena tidak mempunyai skor TOEFL yang cukup. Hal ini menjadikan ia sadar bahwa TOEFL itu memang sangat penting untuk bisa merealisasikan mimpinya pergi ke luar negeri. Hingga akhirnya pada tahun 2006 ia mendapatkan kesempatan untuk menempuh studi S2 di UGM Yogyakarta.
Pada saat itulah ia mulai mempelajari dan mengenal apa itu TOEFL yang sempat menghambat mimpinya untuk pergi ke luar negeri. Saat itu juga ia memang harus melampirkan sertifikat TOEFL untuk bisa menyelesaikan studinya, Satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa dari beberapa tes TOEFL yang ia ikuti pada waktu itu, skor yang ia dapat tidak pernah mencapai 500. Untungnya untuk bisa lulus dan mengikuti wisuda skor yang dibutuhkan tidak harus mencapai 500.
Setelah lulus studi S2 di UGM pada tahun 2008 ia kembali berdinas dan masih selalu mencoba mendaftarkan diri dalam berbagai beasiswa. Kali ini ia mencoba dengan Beasiswa Pemerintah Aceh ke Luar Negeri. Akan tetapi, lagi-lagi karena faktor skor TOEFL yang kurang, ia selalu gagal dalam mendapatkan beasiswa ke luar negeri setiap tahunnya.
Saat itu adalah bisa dibilang merupakan titik balik dari dirinya yang akhirnya memutuskan untuk mencari beasiswa yang menerima skor TOEFL yang ia mampu raih. Sudah bukan waktunya untuk memaksakan diri mengejar beasiswa-beasiswa kuliah ke luar negeri yang menghendaki skor tOEFL tinggi sementara ia tidak bisa meraihnya.
Kemudian pada tahun 2011 merujuk informasi yang ia peroleh dari seorang teman, ia mendaftarkan diri untuk sebuah beasiswa S2 di Taiwan. Meskipun ia sudah mendapat gelar S2 sebelumnya, namun itu adalah peluangnya untuk pergi ke luar negeri jadi kenapa disia-siakan? Tidak disangka-sangka ia ternyata lolos untuk partial scholarship atau half scholarship. Beasiswa yang ia dapat menanggung biaya studi dan biaya akomodasi di asrama kampus saja. Sisanya untuk biaya hidup ia mengandalkan tabungan dan bahkan menjual voucher pulsa di kampus.
Sampai disitu terbukti bahwa kamu bisa tetap kuliah di luar negeri meskipun skor TOEFL kamu renda. Belajar dari Khairul Rijal bahwa akhirnya ia mencari beasiswa yang menerima skor TOEFL yang ia miliki adalah satu hal yang sangat masuk akal. Oleh karena itu, daripada kamu sibuk meningkatkan skor TOEFL kamu, lebih baik mencari berbagai bidang studi dan universitas di negara-negara yang tidak meggunakan TOEFL sebagai salah satu syarat untuk kuliah disana.
Pada akhirnya memang benar bahwa kuliah ke luar negeri itu gampang, asal tahu caranya. Bagaimana? Sudah siap untuk tancap gas mengejar mimpi kamu kuliah ke luar negeri?
Masih banyak lagi pertanyaan seputar kuliah ke luar negeri yang tiba-tiba akan muncul begitu kamu memutuskan untuk mengejar studi di luar negeri. Satu titik dimana banyak orang yang kemudian merasa minder dan tidak percaya diri untuk melanjutkan proses dalam mengejar studi di luar negeri adalah TOEFL. Kemampuan dalam menggunakan bahasa Inggris biasanya diukur dengan tes TOEFL yang skor dari tes tersebut akan mempengaruhi kesempatan bagi siapapun yang ingin melanjutkan studi di luar negeri.
Satu cerita dari seorang pria yang bernama Khairul Rijal membuktikan bahwa tanpa skor TOEFL yang tinggi sekalipun kamu bisa kuliah di luar negeri. Apa dan bagaimana ceritanya? Simak baik-baik ya!
Semenjak dari usia SD ia sudah ingin untuk pergi ke luar negeri karena berawal dari hobi menonton film-film dari luar negeri. Sejak itulah ia bermimpi untuk bisa menempuh studi di luar negeri. Satu masalah yang ia hadapi adalah rasa malas untuk belajar khususnya bahasa Inggris. Pada usia SD meskipun sudah dibelikan buku untuk panduan belajar bahasa Inggris, ia masih tidak bisa menguasai materi yang ada karena memang malas untuk belajar.
Akan tetapi ia justru mempunyai sedikit keunggulan dalam hal penguasaan berbagai kata dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan oleh kegemarannya mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa Inggris serta juga nonton film dalam bahasa Inggris. Paling tidak hal ini tentu merupakan satu hal positif juga karena ia jadi mengerti banyak kata dalam bahasa Inggris meskipun ketika harus menyusunnya ia merasa kewalahan.
Singkat cerita ia akhirnya mampu menyelesaikan studi hingga jenjang S1 atas biaya orang tua. Ia kemudian bekerja menjadi PNS di kawasan Aceh Timur. Perlahan-lahan ia masih selalu mencari kesempatan dan cara agar bisa mewujudkan impian untuk ke luar negeri. Satu cara yang ia lihat adalah dengan melanjutkan studi di luar negeri. Saat itu ia langsung berpikiran bahwa dengan beasiswa itu bisa sangat mungkin dilakukan.
Pada tahun 2004 saat terjadinya bencana Tsunami yang luar biasa di Aceh, ternyata justru ada hal positif yang mengikutinya. Hal itu adalah adanya bantuan hingga dalam bentuk beasiswa bagi para korban bencana tersebut. Ketika itu ia memutuskan untuk mencoba mendaftarkan diri dalam beasiswa-beasiswa bantuan tersebut. Sebut saja IIEF, APS, ADS, hingga STUNEDia ikuti. Sayangnya, semua beasiswa tersebut menggunakan TOEFL sebagai salah satu syaratnya sementara ia tidak memiliki skor TOEFL yang memenuhi kriteria minimum dari beasiswa-beasiswa tersebut.
Hasilnya sudah tentu bisa ditebak. Ia tidak mendapatkan satupun dari beasiswa-beasiswa tersebut hanya karena tidak mempunyai skor TOEFL yang cukup. Hal ini menjadikan ia sadar bahwa TOEFL itu memang sangat penting untuk bisa merealisasikan mimpinya pergi ke luar negeri. Hingga akhirnya pada tahun 2006 ia mendapatkan kesempatan untuk menempuh studi S2 di UGM Yogyakarta.
Pada saat itulah ia mulai mempelajari dan mengenal apa itu TOEFL yang sempat menghambat mimpinya untuk pergi ke luar negeri. Saat itu juga ia memang harus melampirkan sertifikat TOEFL untuk bisa menyelesaikan studinya, Satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa dari beberapa tes TOEFL yang ia ikuti pada waktu itu, skor yang ia dapat tidak pernah mencapai 500. Untungnya untuk bisa lulus dan mengikuti wisuda skor yang dibutuhkan tidak harus mencapai 500.
Setelah lulus studi S2 di UGM pada tahun 2008 ia kembali berdinas dan masih selalu mencoba mendaftarkan diri dalam berbagai beasiswa. Kali ini ia mencoba dengan Beasiswa Pemerintah Aceh ke Luar Negeri. Akan tetapi, lagi-lagi karena faktor skor TOEFL yang kurang, ia selalu gagal dalam mendapatkan beasiswa ke luar negeri setiap tahunnya.
Saat itu adalah bisa dibilang merupakan titik balik dari dirinya yang akhirnya memutuskan untuk mencari beasiswa yang menerima skor TOEFL yang ia mampu raih. Sudah bukan waktunya untuk memaksakan diri mengejar beasiswa-beasiswa kuliah ke luar negeri yang menghendaki skor tOEFL tinggi sementara ia tidak bisa meraihnya.
Kemudian pada tahun 2011 merujuk informasi yang ia peroleh dari seorang teman, ia mendaftarkan diri untuk sebuah beasiswa S2 di Taiwan. Meskipun ia sudah mendapat gelar S2 sebelumnya, namun itu adalah peluangnya untuk pergi ke luar negeri jadi kenapa disia-siakan? Tidak disangka-sangka ia ternyata lolos untuk partial scholarship atau half scholarship. Beasiswa yang ia dapat menanggung biaya studi dan biaya akomodasi di asrama kampus saja. Sisanya untuk biaya hidup ia mengandalkan tabungan dan bahkan menjual voucher pulsa di kampus.
Sampai disitu terbukti bahwa kamu bisa tetap kuliah di luar negeri meskipun skor TOEFL kamu renda. Belajar dari Khairul Rijal bahwa akhirnya ia mencari beasiswa yang menerima skor TOEFL yang ia miliki adalah satu hal yang sangat masuk akal. Oleh karena itu, daripada kamu sibuk meningkatkan skor TOEFL kamu, lebih baik mencari berbagai bidang studi dan universitas di negara-negara yang tidak meggunakan TOEFL sebagai salah satu syarat untuk kuliah disana.
Pada akhirnya memang benar bahwa kuliah ke luar negeri itu gampang, asal tahu caranya. Bagaimana? Sudah siap untuk tancap gas mengejar mimpi kamu kuliah ke luar negeri?