Berasal dari Medan, Martin Tjioe adalah seorang pemuda yang ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMP bisa dibilang memulai sebuah petualanga...
Berasal dari Medan, Martin Tjioe adalah seorang pemuda yang ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMP bisa dibilang memulai sebuah petualangan luar biasa dalam hal pendidikan. Ia dan saudara kembarnya mendaftarkan diri dalam program ASEAN Scholarship yang disediakan oleh pemerintah Singapura atas dorongan dan dukungan paman. Meskipun tidak yakin sama sekali karena memang ia bukan tergolong seorang siswa yang berprestasi dan berkemampuan tinggi, ia mengikuti arahan pamannya untuk mendapatkan kesempatan menempuh studi di secondary school yang ada di Singapura. Dalam peringkat juara umum ia bahkan tidak pernah masuk dalam sepuluh besar namun ternyata pada ujian tulis dan ujian wawancara program beasiswa ini hasilnya memuaskan. Seleksi tersebut dilakukan langsung oleh Ministry of Education atau Kementerian Pendidikan di Singapura. Hal yang mengejutkan pada akhirnya adalah bahwa ternyata ia dan saudara kembarnya termasuk dalam 9 peserta seleksi yang lolos dari sekolahnya waktu itu untuk bergabung dalam kelompok total 42 anak dari Indonesia sebagai penerima ASEAN Scholarship untuk batch kesepuluh. Luar biasa!
Selanjutnya ia menjalani studi sesuai beasiswa yang ia terima dan kemudian pada akhir masa studi ia mengikuti ujian GCE O level dengan hasil yang ternyata juga memuaskan. Kesempatan selanjutnya yang diberikan adalah untuk melanjutkan studi di Junior College dengan beasiswa juga. Jenjang ini bisa dibilang setara dengan SMA 2 dan SMA 3 di Indonesia. Pada saat itu ia juga mengikuti ujian yang disebut Scholastic Aptitude Test atau SAT yang merupakan salah satu syarat untuk melanjutkan studi jenjang pendidikan tinggi di Singapura. Selain itu di Amerika Serikat universitas dan perguruan tinggi disana juga mewajibkan para calon mahasiswanya untuk mengambil ujian SAT terlebih dahulu. Saat itu juga ia sekaligus mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi menjadi mahasiswa Amerika Serikat. Satu alasan penting dari Martin Tjioe dalam melakukan hal tersebut adalah karena sebenarnya ia takut tidak akan bisa mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah di Singapura.
Ia menempuh studi Junior College di sebuah sekolah yang bernama National Junior College yang ternyata memiliki seorang pembimbing dengan pengalaman luar biasa mengenai proses pendaftaran mahasiswa ke Amerika Serikat. Setelah berkonsultasi dengan pembimbing tersebut maka Martin dan saudara kembarnya mendaftarkan diri ke Early Decision di Lafayette College. Institusi pendidikan ini termasuk dalam liberal arts college di Amerika Serikat. Early Decision itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah persetujuan atau perjanjian antara pemohon dengan institusi pendidikan yang dituju yang intinya menyatakan bahwa pemohon nantinya pasti akan menempuh studi disana jika memang diterima atau lolos seleksi. Jadi meskipun ternyata nanti ada tawaran dari institusi pendidikan lain atau bahkan mencoba mendaftar dan diterima di universitas lain, pemohon akan tetap memilih institusi pendidikan yang ada dalam perjanjian.
Permohonan yang ia ajukan tersebut ternyata juga berhasil. Bahkan ia juga menerima bantuan keuangan atau istilahnya disana adalah financial aid yang diberikan oleh pihak Lafayette College secara langsung. Dalam paket financial aid yang diterima saat itu meliputi grant, loan, dan juga campus job. Grant pada dasarnya adalah bantuan keuangan tanpa ikatan atau syarat apapun. Loan adalah pinjaman sejumlah 10% dari total financial aid yang diterima dan harus dikembalikan setelah lulus. Sedangkan campus job adalah sejumlah 5% uang dari total financial aid dengan syarat penerima harus bekerja di lingkungan kampus. Jadi bisa dibilang campus job merupakan gaji yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan selama menempuh studi. Paket yang diterima Martin dan saudaranya ternyata cukup untuk membiayai segala keperluan selama menempuh studi di Lafayette College.
Guna mendukung rencananya untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana setelah selesai di Lafayette College, Martin selalu berusaha mengikuti berbagai kegiatan riset dan penelitian sejak tahun pertama. Pengalaman riset dan penelitian sangat penting kaitannya dengan peluang untuk bisa mendapatkan beasiswa pascasarjana di Amerika Serikat. Ia terlibat dengan Society of Environmental Scientists and Engineers atau SEES pada awalnya lalu juga mengikuti program Excel Scholars. Dengan pengalama tersebut maka pada tahun terakhir di Lafayette College ia menulis sebuah tesis mengenai tenknik struktur yang memang merupakan bidang pilihannya.
Ia mendaftarkan diri ke 9 perguruan tinggi di Amerika Serikat guna melanjutkan studi pascasarjana dalam bidang teknik struktur yang disediakan di fakultas teknik sipil. Pilihan yang ia ambil akhirnya adalah Stanford University yang memang membuat ia terkesan dan tertarik seketika pada saat berkunjung ke lokasi kampusnya. Selain memang diterima disana sebagai mahasiswa terntu ia juga mendapatkan financial aid. Dua tahun pertama dalam studi pascasarjana di Stanford University ia mendapatkan financial aid dalam bentuk fellowship. Bantuan keuangan ini merupakan hasil dari sumbangan para alumni jadi memang khusus disediakan pihak kampus untuk membantu mahasiswa yang melanjutkan studi di Stanford University. Sekedar info untuk alumni Stanford University sendiri mencakup David Packard, William Hewlett, Jerry Yang, Larry Page, dan Sergey Brin yang semuanya memang nama-nama besar bahkan hingga saat ini.
Dengan menggunakan financial aid yang bernama School of Engineering Fellowship selama dua tahun di Stanford University Martin Tjioe berhasil mendapatkan gelar Master of Science. Selain itu ia lagi-lagi mendapatkan kesempatan untuk bisa mencari dana tambahan kaitannya dengan pembiayaan pendidikan lanjutan jika masih ingin melanjutkannya. Ia tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan pada akhirnya mampu mendapatkan John A. Blume Fellowship yang berasal dari salah satu alumni Stanford University juga yang bernama John A. Blume. Selain itu ia juga mendapatkan bantuan keuangan melalui Teaching Assistantship atau TA hanya untuk beberapa caturwulan. Pada dasarnya ia hanya harus membantu profesor tertentu untuk mengajar. Dengan adanya fellowship dari John A. Blume tersebut maka ia melanjutkan studi untuk mendapatkan gelar PhD masih dalam bidang yang sama yaitu teknik struktur. Namun ia masih harus mencari tambahan dana untuk tahun terakhir karena studi pascasarjana untuk S2 dan S3 berlangsung selama 5 tahun. Ia kemudian memanfaatkan kesempatan Research Assistantship guna membiayai tahun kelima di Stanford University.
Martin Tjioe menekankan bahwa semua yang ia dapatkan dalam petualangan studi yang ia alami adalah merupakan akumulasi dari proses yang tidak mudah dan tidak cepat. Pada intinya jangan minder di awal seperti juga ia dulunya yang tidak termasuk sebagai siswa berprestasi namun bisa mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri dengan beasiswa. Pengalaman seperti ketika ia mengikuti kegiatan-kegiatan riset dan penelitian juga harus selalu diutamakan karena memang akan berpengaruh ketika mencari bantuan keuangan guna melanjutkan studi. Pada akhirnya memang benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Martin Tjioe sudah membuktikan dengan berangkat dari Medan kemudian ke Singapura dan pada akhirnya ke Amerika Serikat. Masih ragu kamu bisa kuliah ke luar negeri?
Selanjutnya ia menjalani studi sesuai beasiswa yang ia terima dan kemudian pada akhir masa studi ia mengikuti ujian GCE O level dengan hasil yang ternyata juga memuaskan. Kesempatan selanjutnya yang diberikan adalah untuk melanjutkan studi di Junior College dengan beasiswa juga. Jenjang ini bisa dibilang setara dengan SMA 2 dan SMA 3 di Indonesia. Pada saat itu ia juga mengikuti ujian yang disebut Scholastic Aptitude Test atau SAT yang merupakan salah satu syarat untuk melanjutkan studi jenjang pendidikan tinggi di Singapura. Selain itu di Amerika Serikat universitas dan perguruan tinggi disana juga mewajibkan para calon mahasiswanya untuk mengambil ujian SAT terlebih dahulu. Saat itu juga ia sekaligus mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi menjadi mahasiswa Amerika Serikat. Satu alasan penting dari Martin Tjioe dalam melakukan hal tersebut adalah karena sebenarnya ia takut tidak akan bisa mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah di Singapura.
Ia menempuh studi Junior College di sebuah sekolah yang bernama National Junior College yang ternyata memiliki seorang pembimbing dengan pengalaman luar biasa mengenai proses pendaftaran mahasiswa ke Amerika Serikat. Setelah berkonsultasi dengan pembimbing tersebut maka Martin dan saudara kembarnya mendaftarkan diri ke Early Decision di Lafayette College. Institusi pendidikan ini termasuk dalam liberal arts college di Amerika Serikat. Early Decision itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah persetujuan atau perjanjian antara pemohon dengan institusi pendidikan yang dituju yang intinya menyatakan bahwa pemohon nantinya pasti akan menempuh studi disana jika memang diterima atau lolos seleksi. Jadi meskipun ternyata nanti ada tawaran dari institusi pendidikan lain atau bahkan mencoba mendaftar dan diterima di universitas lain, pemohon akan tetap memilih institusi pendidikan yang ada dalam perjanjian.
Permohonan yang ia ajukan tersebut ternyata juga berhasil. Bahkan ia juga menerima bantuan keuangan atau istilahnya disana adalah financial aid yang diberikan oleh pihak Lafayette College secara langsung. Dalam paket financial aid yang diterima saat itu meliputi grant, loan, dan juga campus job. Grant pada dasarnya adalah bantuan keuangan tanpa ikatan atau syarat apapun. Loan adalah pinjaman sejumlah 10% dari total financial aid yang diterima dan harus dikembalikan setelah lulus. Sedangkan campus job adalah sejumlah 5% uang dari total financial aid dengan syarat penerima harus bekerja di lingkungan kampus. Jadi bisa dibilang campus job merupakan gaji yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan selama menempuh studi. Paket yang diterima Martin dan saudaranya ternyata cukup untuk membiayai segala keperluan selama menempuh studi di Lafayette College.
Guna mendukung rencananya untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana setelah selesai di Lafayette College, Martin selalu berusaha mengikuti berbagai kegiatan riset dan penelitian sejak tahun pertama. Pengalaman riset dan penelitian sangat penting kaitannya dengan peluang untuk bisa mendapatkan beasiswa pascasarjana di Amerika Serikat. Ia terlibat dengan Society of Environmental Scientists and Engineers atau SEES pada awalnya lalu juga mengikuti program Excel Scholars. Dengan pengalama tersebut maka pada tahun terakhir di Lafayette College ia menulis sebuah tesis mengenai tenknik struktur yang memang merupakan bidang pilihannya.
Ia mendaftarkan diri ke 9 perguruan tinggi di Amerika Serikat guna melanjutkan studi pascasarjana dalam bidang teknik struktur yang disediakan di fakultas teknik sipil. Pilihan yang ia ambil akhirnya adalah Stanford University yang memang membuat ia terkesan dan tertarik seketika pada saat berkunjung ke lokasi kampusnya. Selain memang diterima disana sebagai mahasiswa terntu ia juga mendapatkan financial aid. Dua tahun pertama dalam studi pascasarjana di Stanford University ia mendapatkan financial aid dalam bentuk fellowship. Bantuan keuangan ini merupakan hasil dari sumbangan para alumni jadi memang khusus disediakan pihak kampus untuk membantu mahasiswa yang melanjutkan studi di Stanford University. Sekedar info untuk alumni Stanford University sendiri mencakup David Packard, William Hewlett, Jerry Yang, Larry Page, dan Sergey Brin yang semuanya memang nama-nama besar bahkan hingga saat ini.
Dengan menggunakan financial aid yang bernama School of Engineering Fellowship selama dua tahun di Stanford University Martin Tjioe berhasil mendapatkan gelar Master of Science. Selain itu ia lagi-lagi mendapatkan kesempatan untuk bisa mencari dana tambahan kaitannya dengan pembiayaan pendidikan lanjutan jika masih ingin melanjutkannya. Ia tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan pada akhirnya mampu mendapatkan John A. Blume Fellowship yang berasal dari salah satu alumni Stanford University juga yang bernama John A. Blume. Selain itu ia juga mendapatkan bantuan keuangan melalui Teaching Assistantship atau TA hanya untuk beberapa caturwulan. Pada dasarnya ia hanya harus membantu profesor tertentu untuk mengajar. Dengan adanya fellowship dari John A. Blume tersebut maka ia melanjutkan studi untuk mendapatkan gelar PhD masih dalam bidang yang sama yaitu teknik struktur. Namun ia masih harus mencari tambahan dana untuk tahun terakhir karena studi pascasarjana untuk S2 dan S3 berlangsung selama 5 tahun. Ia kemudian memanfaatkan kesempatan Research Assistantship guna membiayai tahun kelima di Stanford University.
Martin Tjioe menekankan bahwa semua yang ia dapatkan dalam petualangan studi yang ia alami adalah merupakan akumulasi dari proses yang tidak mudah dan tidak cepat. Pada intinya jangan minder di awal seperti juga ia dulunya yang tidak termasuk sebagai siswa berprestasi namun bisa mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri dengan beasiswa. Pengalaman seperti ketika ia mengikuti kegiatan-kegiatan riset dan penelitian juga harus selalu diutamakan karena memang akan berpengaruh ketika mencari bantuan keuangan guna melanjutkan studi. Pada akhirnya memang benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Martin Tjioe sudah membuktikan dengan berangkat dari Medan kemudian ke Singapura dan pada akhirnya ke Amerika Serikat. Masih ragu kamu bisa kuliah ke luar negeri?