TATUM SYARIFAH ADININGRUM: Ibu Dua Anak yang Kuliah PhD di New Zealand Pakai Beasiswa NZAS!

Menempuh program doktor di New Zealand tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan perjuangan dan ketekunan yang luar biasa seperti y...

Menempuh program doktor di New Zealand tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan perjuangan dan ketekunan yang luar biasa seperti yang dimiliki oleh Tatum Syarifah Adiningrum. Ibu dua anak ini tengah menempuh program PhD di University of Auckland, New Zealand. Berikut ini kisah yang ia bagikan selama tinggal dan kuliah di New Zealand.


Halo, nama saya Tatum Syarifah Adiningrum, dosen di Universitas Bina Nusantara. Aslinya Surabaya, tapi sejak 2010 saya pindah ke Jakarta. Sekarang sedang PhD di Faculty of Education and Social Work, University of Auckland, mulai study bulan Februari 2015 lalu.

University of Auckland termasuk salah satu universitas yang terkemuka di kawasan Asia Pacifik. Kalau sekarang orang banyak bicara ranking untuk perbandingan, maka Auckland University ini termasuk 100 besar di dunia dalam versi QS, dan satu-satunya uni di New Zealand yang punya reputasi itu. Untuk area Social Science, termasuk di 50 besar dunia. Untuk bidang study saya, Education, UoA punya reputasi yang sangat baik. Jadi secara kualitas, untuk bidang studi saya memang salah satu pilihan terbaik di area Asia Pasifik. Secara fasilitas, dia punya fasilitas yang standarnya dimiliki universitas kelas dunia: akses ke materi akademik yang sangat bagus, hubungan industri yang baik, dan kesempatan penelitian yang terbuka. Bagi saya, salah satu keunikan dari UoA adalah sikapnya yang menjunjung tinggi kebudayaan Maori, suku tradisional New Zealand. Ini jarang saya lihat di Negara-negara lain yang mempunyai suku tradisional.

Sistem pendidikan doctoral di New Zealand menganut sistem penelitian langsung. Mahasiswa tidak diwajibkan mengikuti sejumlah mata kuliah di tahun pertama, tidak seperti sistem di Indonesia. Mahasiswa doctoral dipersamakan dengan staf akademik, sebagai “anak magang” di dunia penelitian, jadi dipersilakan secara khusus untuk tenggelam dalam bidang yang dijadikan fokus penelitiannya. Silakan mencari sendiri, membaca, menulis dan meneliti di area yang dipilih untuk menjadi ahli di bidang tersebut.

Ketika S2 dulu saya mendapat beasiswa ADS untuk Master of Education di Flinders University, Australia. Sekarang saya mendapatkan New Zealand ASEAN Scholarship. Beasiswa ini mencakup biaya kuliah, tiket, visa, biaya hidup single dan establishment fee. NZAS dibuka untuk semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat setiap tahunnya.

Hal Paling Menantang

Seperti yang sudah saya jelaskan, program doctoral pada dasarnya menggembleng kandidat doctor untuk menjadi ahli di bidang penelitiannya secara spesifik dan langsung. Pada umumnya, kesulitan dari sistem ini ada tiga: tidak adanya benchmark antara kandidat yang satu dengan yang lain, hubungan dengan pembimbing thesis, dan kendala bahasa. Untuk kesulitan yang pertama, biasanya karena kita terbiasa kalau sekolah itu ya ada kelas yang diikuti, ada materi yang dihabiskan, ada teman sekelas yang menjalani proses yang sama, dan ada nilai. Nah, pada program doctoral ini, tidak ada hal-hal semacam itu. Kita benar-benar menjalani suatu perjalanan yang tunggal, sepi, dan seperti meraba-raba jalan gelap. Materi yang dipelajari ditentukan diri sendiri atas arahan pembimbing. Setiap pembimbing punya gaya membimbing yang berbeda-beda, sehingga perjalanan setiap orang menjadi unik dan tidak bisa diperbandingkan. Sering kali saya jadi kehilangan orientasi, apakah yang sudah saya kerjakan ini sudah sesuai, sudah bagus, ataukah belum. Bahkan tidak ada teman yang bisa dijadikan tempat belajar materi penelitian kita, karena tiap orang penelitiannya unik. Buat saya ini sulit, karena perjalanan ini seringkali terasa sepi.

Kesulitan yang kedua adalah hubungan dengan pembimbing. Hampir semua mahasiswa doctoral punya cerita yang unik mengenai hubungan cinta segitiga antara kandidat – pembimbing – thesis, atau bahkan segi empat antara kandidat – pembimbing – pembimbing kedua (co-supervisor) – thesis. Ada yang kandidat dan pembimbing langsung klik, tapi antara pembimbing dan pembimbing kedua kurang cocok. Atau sebaliknya: kandidat cocok dengan pembimbing kedua, tapi kurang cocok dengan pembimbing utama. Ataukah antara kandidat dengan thesisnya (topiknya) sudah cinta setengah mati, tapi pembimbing mau menengahi kisah cinta antara keduanya, sehingga cinta jadi kandas ataupun kandidatnya walk-out. Banyak yang mengibaratkan hubungan kandidat dan pembimbing itu layaknya hubungan pernikahan, dengan segala pahit manisnya. Saya sendiri banyak mengalami kesulitan di awal dengan gaya pembimbingan pembimbing Utama saya, tapi selama setahun ini saya sudah bisa menyesuaikan diri dengan gaya pendekatan beliau yang sangat tembak langsung, tanpa basa-basi, dan tidak boros kata.

Kesulitan yang ketiga adalah bahasa. Karena program PhD itu pada dasarnya kita membaca terus dan menulis terus. Celakanya, standar penulisan untuk PhD itu tinggi, harus baik dan benar pilihan katanya dan grammarnya, bermutu isinya. Nah, memikirkan mutu tulisan itu sudah sangat sulit, apalagi ditambah dengan harus menggunakan bahasa yang bukan bahasa sendiri.


Hari-hari Pertama

Buat saya, masalah Utama adalah cuaca. Jangan lupa, NZ itu dekat sama Kutub Selatan, jadi sepanjang tahun suhunya suam-suam kuku cenderung dingin. Kalau angin kutub sudah bertiup, hari yang panas bisa mendadak dingin. Saya benci sekali kalau angin dingin itu sudah bertiup. Kesulitan yang kedua adalah mencari tempat tinggal. Auckland adalah kota terbesar di NZ, dan sedang mengalami ledakan imigran yang luar biasa. Mencari tempat tinggal di sini itu sangat kompetitif, sekali mengajukan penawaran untuk menyewa rumah, kita bisa berkompetisi dengan 20 aplikasi yang lain. Butuh hampir satu semester penuh buat saya untuk mendapatkan sewa rumah yang memenuhi persyaratan jumlah kamar, sesuai budget, bersih, dan cocok untuk keluarga.


Hal yang Harus Disiapkan

Siap mental, hahahaha….. Ternyata buat saya yang sudah pernah tinggal dua tahun di Australia, datang ke NZ pun masih penuh kejutan. Ada kendala jarak, letak NZ itu jauh, kalau orang Jawa bilang "pucuk ndunyo" atau ujung dunia. Dan almost literally, NZ memang di ujung dunia. Kendala jarak itu membuat tiket jadi mahal, jadi perlu siap mental untuk tidak bisa pulang setiap tahun karena tiket mahal, ataupun kalau dapat tiket murah, perjalanannya panjang dan kayak ping pong, transit di sana sini. Terkait ujung dunia pula, harga barang juga mahal di sini, walaupun harga produk susu dan keju lebih murah. Kalau masih bertahan dengan gaya hidup Indonesia, maksudnya masih kepengennya makan makanan Indonesia, maka harus rela repot atau rela mahal, atau rela dua-duanya.
Mencari tempat tinggal di Auckland juga bukan masalah mudah, karena kompetisi ketat sehingga menciptakan harga yang mahal. Istilahnya more demand than supply. Harus rajin mencari informasi dari Trade Me (semacam ebay versi NZ) ataupun dari komunitas kita.

Belanja

Untuk kebutuhan sehari-hari, saya biasa belanja di toko Pak n Save, sebangsa Hypermart gitu. Kebetulan dekat rumah saya PnS-nya punya halal meat section, jadi nggak repot belanja daging. Supaya lebih hemat, saya usahakan seminggu belanja sekali saja, biar tidak sering lapar mata. Deket rumah juga ada pasar yang buka setiap hari minggu pagi, namanya Avondale Sunday Market. Nah, di sini menjual ikan segar, buah dan sayuran dengan harga murah. Banyak pedagang Asia juga, jadi kita bisa dapat bawang merah (shallot), daun kemangi, tahu, bahkan kalau berani nyoba, kue-kue basah versi Thailand atau China, yang penampakannya mirip banget sama kue Indonesia macam kue lapis dan klepon. Di Sunday Market ini juga dijual barang-barang second macam perabotan, sepeda, alat dapur, baju-baju. Ya nggak beda sama pasar Inpress gitu, cuma tidak ada gedungnya. Saya ke Sunday Market mungkin sebulan sekali, biar tidak sering kalap, hahahaaha… Sebulan sekali juga saya ke supermarket Asia, namanya TOFU yang ada di wilayah Northcote. Si TOFU ini yang punya orang Indonesia, dan dia jual barang-barang dari Indonesia macam tolak angin, sirup Marjan, mesis Ceres, bumbu Bambu, tepung Kobe, kopi Kapal Api. Memang tidak selengkap di Australia sih, tapi paling nggak saya nggak perlu lama puasa Indomie Kari Ayam, hehehe...

Untuk harga-harga, yang biasa saya beli nih ya… Beras jasmine 5 kg harganya NZD 10. Ayam sekilo harganya berfluktuasi, dari NZD 4.99 – 8.99. Kalau daging sapi antara NZD 9.99 – 15.99 per kg. Daging domba NZD 7.99 – 14.99. Keju slice isi 10 seringnya NZD 5 dapat dua bungkus. Sayuran kalau di supermarket lebih mahal daripada di pasar pastinya. Bokchoi di supermarket sekitar 3 dolar dapat dua bonggol, kalau di Sunday market bisa 89 sen per bonggol, atau NZD 2 dapat 3 bonggol. Kalau favorit kami di sini adalah buah ceri segar. Di Indonesia kita hanya kenal ceri kalengan yang ada di pucuknya es krim. Harganya mahal sih, NZD 8.99 – 16.99 per kilo, tergantung musim.

Culture Shock

Oh itu sudah pasti. Mungkin karena sekarang saya sudah masuk kategori “senior student” hahaha… Culture shock yang pertama itu, seperti yang saya bilang sebelumnya: cuaca. Walaupun ketika saya datang itu pas masih musim panas, suhu tidak pernah mencapai 30. Lalu si angin kutub itu lumayan sering datang, sehingga ke mana-mana bawa jaket dan pakai kaos kaki. Cuaca bisa juga berubah sewaktu-waktu, sebentar panas, tak lama kemudian hujan, sehingga kita harus rajin-rajin cek ramalan cuaca. Kalau di Indonesia, ramalan cuaca itu tidak begitu berguna, tapi di sini itu sangat menentukan harus bawa jaket yang mana dan apakah hari itu kita bisa mencuci dan menjemur baju. Selain angin, saya sempat depresi dengan langit kelabu. Secara geografis, letaknya Auckland itu di daerah yang sering mendung, begitu yang saya dengar. Nah, terutama di musim dingin, mendung itu bisa berhari-hari. Langit begitu kelabu, sinar matahari tidak terlihat. Kalau sudah dua hari berturut-turut seperti itu, saya akan mulai merasa depresi. Apalagi ditambah, kalau mendung, sudah pasti udara semakin terasa dingin. Ramalan cuaca bisa berkata 10 derajat, dengan real feel 8 derajat. Jadi selama musim dingin kemarin, otak saya serasa beku dan hidup tidak bergairah.

Untuk mengatasinya cukup sulit, karena walaupun bisa pasang heater dan pakai jaket, kalau mataharinya yang tidak terlihat sinarnya kan tetap saja terasa depresi. Salah satu jalan saya niatkan saja setiap hari datang ke kampus seperti layaknya berkantor, datang pagi dan pulang sore. Mencoba bertemu dengan teman-teman, makan bareng dan ngobrol. Kalau rutinitas dipertahankan, paling tidak hidup masih terasa stabil dan ada pegangan. Walaupun tetap tidak bisa terbiasa dengan dingin dan mendung, paling tidak bisa bertahan sampai matahari muncul kembali.

Culture shock yang lain adalah sepinya NZ. Auckland adalah kota terbesar di NZ, tapi fasilitas hiburan, jasa dan metropolitannya masih sangat jauh dibandingkan Jakarta. Saya memperkirakan Auckland itu cukup besar dan ramai, seperti layaknya Sydney atau Melbourne di Australia. Ternyata saya salah, sehingga ada perbedaan yang cukup jauh antara ekspektasi dan kenyataan. Nah, karena jumlah penduduknya sedikit, maka harga jasa seperti hiburan juga cukup mahal (tidak mencapai skala ekonominya). Buat mahasiswa internasional bermodal beasiswa, nongkrong di kafe jadi kegiatan yang mewah, dan diganti dengan nongkrong di apartemen teman. Cuma yang seperti itu kan tidak selalu bisa spontan: ketemu teman di kampus terus bilang “ayo ngobrol di rumah” tidak selalu bisa pas. Jadinya agak berpengaruh ke pergaulan juga.

Kegiatan Selain Kuliah

Saya cukup aktif di grup kesenian yang dipelopori oleh para Permanent Residence Indonesia yang berdiam di Auckland. Tahun 2015 saya ikut tampil di Auckland Indonesia Festival 2015 yang diselenggarakan April 2015 (coba cek di youtube), juga di beberapa kesempatan seperti festival multikultur Auckland. Sejak September 2015 kami sudah mulai mempersiapkan festival 2016 yang akan digelar April mendatang. Selain itu saya juga mengusahakan agar keluarga saya (anak saya 2) menikmati kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin di Auckland, jadi saya carikan kegiatan-kegiatan ekstra seperti berenang, melukis dan semacamnya. Sekali-kali saya volunteer untuk kegiatan kampus seperti acara seminar atau kompetisi, jadi panitia kecil-kecilan. Tapi ya sebagai mahasiswa PhD, waktu lebih banyak tersita untuk belajar.



Selain itu saya juga usahakan bisa traveling ke tempat-tempat di sekitar Auckland, misalnya ke Auckland Art Gallery, Auckland Museum, ke pantai Mission Bay, pantai Piha, 90 mile beach dan Cape Reinga. Sekeluarga kami juga sudah mencoba sandboarding di Te Paki. Bukit-bukit pasirnya spektakuler, tinggi banget dan putih sekali. Sandboarding jadi wisata paling seru bagi kami sampai saat ini.


Bergaul di New Zealand

Saya cukup banyak kesulitan dengan pergaulan karena beberapa hal. Pertama, kampus Faculty of Education itu letaknya di pinggiran, bukan di pusat kota, jadi cukup terpisah jauh dengan teman-teman Indonesia yang kebanyakan ada di pusat kota. Kedua, program PhD tidak diawali dengan mengikuti mata kuliah, sehingga tidak terjadi ikatan yang kuat antara mahasiswa doctoral. Kebetulan saya orangnya agak kurang luwes mengawali pembicaraan, jadi kalau nggak ada yang mengajak bicara saya cenderung diam. Aksen orang NZ menurut saya agak sulit ditangkap, jadi kalau ngobrol dengan orang saya sering juga sulit menangkap maksudnya. Selain itu, mayoritas mahasiswa PhD yang full-time adalah mahasiswa internasional dari berbagai Negara, dan aksen mereka juga susah sekali. Lalu yang ketiga, budaya orang NZ itu adalah ngopi sambil ngobrol. Nah, repotnya, ngopi adalah kegiatan mahal di sini buat ukuran kantong saya. Jadinya kurang luwes bergaulnya, keder duluan kalau diajak ngopi atau lunch bareng.

Cara mengatasin limitasi bergaul itu buat saya yang paling gampang adalah dengan bertanya. Walaupun kadang saya nggak perlu nanya, saya sok sok nanya aja biar ada jawaban. Kalau sudah dijawab, saya akan tahu apakah orangnya suka menolong, gampang ngobrol ataukah orangnya seperlunya aja. Selain itu kalau ada kegiatan yang perlu panitia, saya suka sok volunteer. Selain itu ya memanfaatkan social media, add teman-teman baru di facebook.

Rindu Indonesia

Yang paling dirindukan: keluarga, makanan murah dan pantai. Di Jakarta kami sering kumpul-kumpul dengan ibu, kakak, ipar, sepupu, nenek. Ya untungnya sekarang banyak fasilitas komunikasi, jadi masih rajin ber WA group, Skype, dan semacamnya.

Di sana kami juga lumayan sering main ke pantai seperti Pangandaran atau Anyer. Di sini pantai memang cantik dan sangat bersih, tapi seringnya anginnya kencang dan airnya dingin! Untuk menikmati pantai di NZ, harus ada kombinasi yang pas antara terik matahari (supaya airnya juga anget), kecepatan angin, dan apakah pantainya punya tempat berteduh. Setelah mencoba beberapa pantai (Mission Bay, Piha, 90 Mile Beach), kami diajak oleh teman ke Browns Bay yang punya poin lokasi di keramaian dan banyak tempat teduhnya. Kebetulan pas hari itu kok anginnya lembut dan airnya hangat, wah… serasa di surga banget.

Untuk makanan, ya solusinya harus mau adventure cari-cari info makanan dari teman-teman, atau rajin ekseperimen di dapur. Cuma ya kadang terbentur di bahan-bahan yang nggak selalu ada atau harganya mahal. Mau bikin kering tempe, harga tempe di sini NZD 2.5 sebesar 200 gr, dan kacang juga mahal sekali. Lalu misalnya saya pernah kangen terang bulan alias martabak manis. Dicoba-coba bikin, lumayan bisa jadi, tapi mesisnya yang nggak ada. Ada pun di sini harganya mahal sekali, bisa mencapai NZD 12 se kantong besar. Jadi kadang terbentur harga, dan kalau sudah beli bahan mahal, eh jadinya nggak enak.


Pengalaman Unik dan Tak Terlupakan

Kadang kita punya stereotype kalau ke Australia dan NZ itu ya ke tempatnya orang bule (di sini disebut Pakeha), dan kita mengharapkan bertemu kultur yang tipikalnya kita lihat di TV. Tetapi NZ itu ternyata tempat yang sangat multikultur, dan di beberapa tempat komunitasnya malah tidak terasa budaya barat nya. Misalnya di sekolah anak saya, jumlah anak kulit putihnya bisa dihitung dengan jari tangan. Mayoritas muridnya malahan dari keturunan Samoa, dengan tampilan fisik dan kultur yang menurut saya mirip dengan orang Indonesia Timur. Baik guru maupun anak-anak murid di situ sangat hangat, dan anak-anak saya langsung betah. Di situ saya pertama kali disapa oleh teman-teman anak saya (baik sekelas maupun dari kelas lain) “Hai Nantan’s Mum”, setiap hari. Di situ saya sadar bahwa budaya masyarakat NZ itu sangat sangat beragam, dan jauh dari stereotype yang dipunyai orang Indonesia pada umumnya. Selain itu yang sangat berkesan adalah menonton Haka, tarian perang Maori yang umumnya jadi pembuka penampilan tim nasional rugby NZ. Haka juga banyak diperagakan di acara sekolah atau acara nasional lain. Sempat kaget melihat dandanannya yang serem, mata melotot dan lidah yang menjulur.

Tapi kalau yang paling unik di antara yang unik… suatu ketika saya dan beberapa teman jalan-jalan ke pantai Piha. Di Auckland, reputasi Piha itu selevel dengan Bondi Beach nya Sydney lah. Ada tiga orang Indonesia, satu orang Jepang dan satu orang Bangladesh di satu mobil. Ketika waktu sholat tiba, cowok-cowok dari Indonesia dan Bangladesh ingin sholat Dhuhur karena perjalanan cukup jauh, tidak bisa sampai di rumah sebelum Ashar. Maka merekapun gelar tikar piknik yang dibawa oleh teman dari Jepang itu, mana tikarnya imut banget gambarnya Hello Kitty. Mereka ambil wudhu di pantai, terus sholat berjamaah. Teman saya yang orang Jepang itu geli banget, dia bilang “Coba kalau kamu upload foto mereka lagi sholat di atas tikar Hello Kitty begitu, pasti nggak ada lagi yang bilang kalau orang Islam itu teroris. Mereka keliatan cute banget”. Dia ambil foto beberapa kali, dan geleng kepala berkali-kali.


Untuk Teman-teman yang Ingin Kuliah ke New Zealand

Pertama-tama, yang saya lihat, belajar di NZ ini berat karena ada tuntutan dan standar yang tinggi dari universitas. Kebetulan suami saya juga sedang S2 di universitas lain, dan antara S2 dan S3 sama saja beratnya. Perlu upaya keras untuk menyelesaikan semua target pembelajaran, semua tugas paper, dan tugas-tugas non paper. Jadi harus siap mental untuk selalu sibuk, dan tidak bisa berharap bisa mengandalkan belajar dengan menghapal buku. Tuntutan dosen di sini adalah kita harus banyak membaca sumber-sumber akademik secara mandiri, mengkritisnya, dan mengolah informasi menjadi pengetahuan baru. NZ juga Negara yang indah, dan traveling itu wajib banget. Ambillah kesempatan untuk menikmati ciptaan Tuhan yang tiada tara. Ada teman saya yang bilang kalau Tuhan menciptakan NZ ketika sedang jatuh cinta. Jadi siapkan mentalmu untuk belajar gila, menabung untuk traveling, dan pergilah jalan-jalan ke pelosok NZ.

Reporter: Adelina Mayang
Nama

Afrika,26,Amerika,67,Amerika Serikat,81,Arab Saudi,13,Asia,237,Australia,75,Austria,13,Beasiswa,306,Beasiswa Amerika,4,Beasiswa Arab Saudi,5,Beasiswa Australia,14,Beasiswa Austria,2,Beasiswa Belanda,10,Beasiswa Belgia,1,Beasiswa Brunei Darussalam,2,Beasiswa Cina,10,Beasiswa Denmark,1,Beasiswa Filipina,3,Beasiswa Finlandia,1,Beasiswa Hongkong,1,Beasiswa Hungaria,1,Beasiswa India,2,Beasiswa Indonesia,3,Beasiswa Inggris,28,Beasiswa Irlandia,1,Beasiswa Jepang,14,Beasiswa Jerman,5,Beasiswa Kamboja,1,Beasiswa Kanada,3,Beasiswa Korea,2,Beasiswa Korea Selatan,5,Beasiswa Malaysia,6,Beasiswa Myanmar,1,Beasiswa New Zealand,3,Beasiswa Perancis,4,Beasiswa Polandia,1,Beasiswa Rumania,1,Beasiswa Selandia Baru,1,Beasiswa Sidney,1,Beasiswa Singapura,3,Beasiswa Skotlandia,1,Beasiswa Slovakia,1,Beasiswa Spanyol,1,Beasiswa Swedia,2,Beasiswa Swiss,3,Beasiswa Taiwan,1,Beasiswa Thailand,3,Beasiswa Tiongkok,1,Beasiswa Turki,5,Beasiswa Uni Emirat Arab,1,Beasiswa Uni Eropa,2,Beasiswa Vietnam,1,Belanda,37,Belgia,10,Brazil,2,Brunei Darussalam,7,Bulgaria,3,Ceko,4,Chili,3,Cina,30,Denmark,10,Destinasi,65,Eropa,313,Event,5,Exchange,26,Fakta Unik,82,Festival Indonesia,2,Filipina,8,Finlandia,16,Hong Kong,6,Hungaria,4,IELTS,6,India,37,Indonesia,113,Info Beasiswa,64,Info Jurusan,12,Info Universitas,34,Inggris,86,Interview,445,Interview di Amerika,13,Interview di Arab Saudi,5,Interview di Australia,23,Interview di Austria,4,Interview di Belanda,12,Interview di Belgia,8,Interview di Ceko,3,Interview di Cina,12,Interview di Damaskus,1,Interview di Denmark,4,Interview di Filipina,3,Interview di Finlandia,10,interview di Hungaria,1,Interview di India,9,Interview di Indonesia,4,Interview di Inggris,32,Interview di Irlandia,1,Interview di Italia,11,Interview di Jepang,22,Interview di Jerman,20,Interview di Kanada,8,Interview di Korea Selatan,28,Interview di Malaysia,1,Interview di Maroko,6,Interview di Meksiko,1,Interview di Mesir,8,Interview di New Zealand,17,Interview di Perancis,25,Interview di Polandia,12,Interview di Portugal,11,Interview di Rusia,3,Interview di Selandia Baru,4,Interview di Singapura,6,Interview di Skotlandia,2,Interview di Spanyol,16,Interview di Swedia,2,Interview di Swiss,2,Interview di Taiwan,5,Interview di Thailand,8,Interview di Tiongkok,9,Interview di Turki,9,Interview di Yaman,1,Interview di Yordania,5,Irlandia,10,Islandia,1,Italia,16,Jakarta,1,Jamaika,1,Jepang,60,Jerman,46,Kanada,27,Karir,13,Kazakhstan,1,Kolombia,4,Korea Selatan,44,Kuliner,21,kuliner khas daerah,7,Kuliner Mancanegara,14,Launching Buku,1,Lebanon,3,Lithuania,1,LPDP,4,Malaysia,27,Maroko,9,Media,249,Meksiko,7,Mesir,19,motivasi,2,New York,1,New Zealand,15,News,3,Norwegia,2,Paraguay,1,Perancis,48,Polandia,14,Portugal,15,PPI,6,Prancis,1,Press Release,1,Prestasi,1,Profil PPI,7,Profil Universitas,51,Qatar,2,Rekomendasi,1,Rumania,2,Rusia,13,Selandia Baru,24,Sidney,1,Simposium Internasional PPI Dunia 2016,6,Singapura,30,Skotlandia,4,Slovakia,1,Spanyol,24,Student Life,150,Studenthack,348,Surabaya,2,Swedia,19,Swiss,15,Taiwan,9,Thailand,13,Tiongkok,19,Tips,7,Tips Beasiswa,16,Tips Belajar Bahasa Inggris,9,Tips Kuliah ke Luar Negeri,89,Tips Travelling,6,Tips Umum Kuliah di Luar Negeri,105,Tips Umum Kuliah Di Negeri Sendiri,47,TOEFL,12,Tokoh Dunia,2,Tokoh Indonesia,20,Traveling,6,Turki,20,Uni Emirat Arab,1,Uni Eropa,2,Universitas,36,Universitas Terbaik,56,Uruguay,2,Vietnam,1,Yaman,1,Yogyakarta,3,Yordania,5,Yunani,3,
ltr
item
Berkuliah.com: TATUM SYARIFAH ADININGRUM: Ibu Dua Anak yang Kuliah PhD di New Zealand Pakai Beasiswa NZAS!
TATUM SYARIFAH ADININGRUM: Ibu Dua Anak yang Kuliah PhD di New Zealand Pakai Beasiswa NZAS!
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_sE6AcVZW9Z_Ad4I5H9cezu2fcPMkPJzSzAOPrFGFMoT9Mx3UBgQgvecU2v1xIFzH9w6vCmTJUmbdIFEf_Sf-nHLSK1XBP7KP5e3mX77A3uLUjUgKOcld9NI35L3ZXTBam20TAwDuEWs/s1600/Tatum+1.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_sE6AcVZW9Z_Ad4I5H9cezu2fcPMkPJzSzAOPrFGFMoT9Mx3UBgQgvecU2v1xIFzH9w6vCmTJUmbdIFEf_Sf-nHLSK1XBP7KP5e3mX77A3uLUjUgKOcld9NI35L3ZXTBam20TAwDuEWs/s72-c/Tatum+1.png
Berkuliah.com
http://www.berkuliah.com/2016/09/tatum-syarifah-adiningrum-ibu-dua-anak-study-phd-in-new-zealand-kuliah-di-new-zealand.html
http://www.berkuliah.com/
http://www.berkuliah.com/
http://www.berkuliah.com/2016/09/tatum-syarifah-adiningrum-ibu-dua-anak-study-phd-in-new-zealand-kuliah-di-new-zealand.html
true
6823463133590324440
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy